Minggu, 29 November 2015

KURIKULUM

Kita sebagai insan yang bergelut dalam dunia pendidikan tentunya sudah tidak asing lagi dengan suatu hal yang disebut kurikulum. Kita sering mendengar bahkan menggunakan kosakata tersebut dalam kehidupan sehari-hari khususnya ketika berada di lingkungan sekolah atau kampus.  Namun tak jarang di antara kita yang belum memahami betul tentang kurikulum ini. Jadi, apa sebenarnya pengertian dari kurikulum? Apabia ditinjau dari asal katanya, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang awalnya digunakan dalam bidang olahraga, yakni kata currere yang berarti jarak tempuh lari. Dalam kegiatan berlari tentu saja ada jarak yang harus ditempuh, mulai dari start sampai dengan finish. Jarak dari start sampai dengan finish inilah yang disebut currere. Pada tahun 1955 kata kurikulum muncul pada kamus Webster khusus digunakan dalam bidang pendidikan yang artinya sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tingkatan tertentu atau ijazah.
    Kemudian muncul konsep-konsep dari para ahli berkaitan dengan kurikulum ini. Carter V. Good dalam Dictionary of Education menyebutkan bahwa kurikulum adalah sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dalam suatu mata pelajaran atau disiplin ilmu tertentu. Menurut pandangan tersebut, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu dan masih dipakai sampai sekarang. Pada perkembangan selanjutnya kurikulum dipandang sebagai seluruh pengalaman belajar siswa, sebagaimana ditegaskan oleh Ronald C. Doll, yakni “the commonly accepted definition of the curriculum has canged from content of course of study and list of subjects and course to all the experiences which are offered to learnes under the auspices or direction of the school.” Konsep yang ditawarkan oleh Ronald C. Doll ini menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada konsep yang lebih luas.
    J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam bukunya Secondary School Improvement (1971), seperti yang dikutip oleh S. Nasution, menyebutkan bahwa kurikulum itu termasuk metode pembelajaran, cara mengevaluasi siswa dan program pembelajaran, perubahan tenaga pengajar, bimbingan penyuluhan, supervise dan administrasi, alokasi waktu, jumlah ruang dan kemungkinan memilih mata pelajaran. Bahkan Alice Miel dalam bukunya Changing Curriculum a Sosial Process (1946) menyatakan bahwa kurikulum ini meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan pengetahuan dan sikap semua komponen sekolah seperti anak didik, kepala sekolah, guru, pegawai administrasi dan masyarakat. Sedangkan Abdurrahman Al Nahlawi memandang bahwa kurikulum adalah rencana sekolah yang berisi pokok-pokok pembelajaran, tujuan, tingkatan dan apa yang diberikan setiap tahun ajaran, yang dijelaskan pokok-pokok bahasan yang akan disampaikan pada tingkatan atau kelas tertentu dengan melihat tingkat usia anak didik serta berisi tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh anak didik pada tiap pokok bahasan dalam suatu materi pelajaran.
    Kurikulum juga sering dibedakan menjadi dua, yakni kurikulum sebagai rencana (curriculum plan) dan kurikulum yang fungsional (functioning curriculum). George A. Beauchamp menekankan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Sedangkan Robert S. Zais menyatakan bahwa kebaikan kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen tertulisnya saja, melainkan harus dinilai dalam proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas.
    Beberapa ahli menilai bahwa konsep kurikulum yang terlalu luas akan membuat kabur, tidak jelas dan tidak fungsional serta sulit untuk dioperasionalkan. Salah satunya adalah  Mauritz Jhonsons, ia mengajukan keberatan terhadap konsep kurikulum yang sangat luas. Menurutnya pengalaman yang muncul dari interaksi antara siswa dengan lingkungannya bukan termasuk kurikulum, melainkan pengajaran. Jhonsons  membedakan dengan tegas antara kurikulum dengan pengajaran. Semua yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan termasuk pengajaran, sedangkan kurikulum hanya berkenaan dengan hasil-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa. Hilda Taba juga menyatakan hal yang senada, ia mengajukan konsep kurikulum yang tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit. Dalam bukunya Curriculum Development Theory and Practice ia mengungkapkan bahwa kurikulum adalah rencana pembelajaran yang berkaitan dengan proses dan pengembangan individu anak didik. Selain itu dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19 juga ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
    Dari beberapa konsep tersebut, sebagian pendapat menekankan pada isi atau mata pelajaran, sebagian menekankan pada proses atau pengalaman sedangkan pihak yang lain memadukan dua pendapat tersebut dalam artian menekankan pada isi atau mata pelajaran dan juga proses atau pengalaman. Semua pendapat itu bergantung dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
    Selain definisi dan konsep, hal yang tidak boleh dilupakan ketika kita membahas kurikulum adalah komponen apa saja yang menyusunnya. Sebagai suatu sistem, kurikulum tentunya memiliki komponen-komponen penyusun yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Kurikulum memilki empat komponen yang menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan sistem pembelajaran, yakni tujuan, materi, strategi dan evaluasi.
    Tujuan pembelajaran sebagai salah satu komponen dari kurikulum harus mengacu ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yakni berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pada dasarnya tujuan pembelajaran merupakan tujuan dari setiap program pendidikan yang akan diberikan kepada anak didik, dan kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
    Komponen yang kedua, yakni materi pembelajaran atau isi program dalam suatu kurikulum, yang merupakan sesuatu yang diberikan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan. Menurut Hamalik, isi kurikulum adalah bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelanggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Isi kurikulum meliputi jenis-jenis bidang studi yang diajarkan dari isi program masing-masing bidang studi tersebut. Isi program suatu bidang studi yang diajarkan sebenarnya adalah isi kurikulum itu sendiri, atau bisa juga disebut dengan silabus. Silabus diajarkan ke dalam bentuk pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan, serta uraian bahan pelajaran itulah yang dijadikan dasar pengambilan bahan dalam setiap kegiatan belajar mengajar di kelas oleh guru.
    Komponen lainnya, yakni strategi pembelajaran dalam pelaksanaan suatu kurikulum yang berarti cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Strategi pembelajaran juga mengandung pengertian terlaksananya kegiatan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, komponen ini memegang peranan yang sangat penting. Karena bagaimanapun baiknya kurikulum sebagai rencana, tanpa dapat diwujudkan pelaksanaannya tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Sehingga di sini, guru harus mampu memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan, materi, siswa dan komponen lain dalam pembelajaran sehingga proses belajar mengajar berjalan efektif.
    Komponen yang terakhir, yakni evaluasi pembelajaran. Menurut B. S. Bloom seperti yang dikutip oleh Daryanto, evaluasi adalah pengumpulan fakta secara sistematis untuk menetapkan bahwa telah terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan tingkat perubahan tersebut. Raph Tyler dan Arikunto menegaskan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah dapat terealisasikan. Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan belajar dan proses pelaksanaan mengajar.
    Selain itu, hal yang juga tak kalah pentingnya dalam kurikulum adalah pengembangan kurikulum. Di sini akan timbul suatu pertanyaan, yakni faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? Menurut Sukmadinata ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, yaitu perguruan tinggi, masyarakat dan sistem nilai.
    Perguruan tinggi sebagai salah satu faktor pengembangan kurikulum setidaknya memberikan dua pengaruh terhadap kurikulum sekolah. Pertama, dari segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Karena jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum, dan perkembangan teknologi juga akan mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan di samping perannya sebagai isi kurikulum. Kedua, dari segi pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), seperti IKIP, FKIP dan STKIP. Kurikulum LPTK juga mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkan.
    Faktor selanjutnya, yakni masyarakat. Masyarakat menjadi salah satu faktor pengembangan kurikulum karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa sekolah juga merupakan bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi kurikulum pun hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka.
    Faktor terakhir, yaitu sistem nilai. Karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan kita tahu bahwa dalam kehidupan bermasyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sehingga sekolah sebagai salah satu lembaga masyarakat juga bertanggungjawab dalam pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat. Jadi sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan