Minggu, 29 November 2015

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
1.    Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching-Learning)
Model pembelajaran kontekstual merupakan model yang mengusahakan untuk membuat siswa aktif dalam menggali kemampuan diri siswa dengan mempelajari konsep-konsep sekaligus menerapkannya dan mengaitkannya dengan dunia nyata di sekitar lingkungan siswa. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning) pada intinya adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Artinya siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang biasa dihadapi di lingkungan, sehingga pada masanya nanti siswa dapat mampu mengatasi persoalan-persoalan yang nyata yang dihadapi di lingkungannya. Contextual Teaching-Learning ini dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching-Learning yang melibatkan 11 Perguruan Tinggi dan 20 sekolah serta lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Model kontekstual (Contextual Teaching And Learning) baik untuk diterapkan oleh guru dalam pembelajaran karena seperti yang kita ketahui, sejauh ini pembelajaran yang biasa guru lakukan masih bersifat konvensional, monoton, dan masih terpusat kepada guru saja. Sehingga siswa tidak memperoleh pengalaman belajar yang bermakna, dan tidak diikut sertakan terlibat secara langsung dalam pemecahan masalah yang diberikan guru pada proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa sekolah dasar khususnya cenderung diam, terkadang terlihat mengantuk, kurang semangat dalam mengikuti pelajaran atau jenuh. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan guru pada penerapan model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning) dalam proses kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut di bawah ini.
a.    Guru mengarahkan siswa untuk sedemikian rupa dapat mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar yang bermakna, berkesan, baik dengan cara meminta siswa untuk bekerja sendiri dan mencari serta menemukan sendiri jawabannya, kemudian memfasilitasi siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan keterampilannya yang baru saja ditemuinya.
b.    Dengan bimbingan guru, siswa di ajak untuk menemukan suatu fakta dari permasalahan yang disajikan guru/dari materi yang diberikan guru.
c.    Memancing reaksi siswa untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan tujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa.
d.    Guru membentuk kelas menjadi beberapa kelompok umtuk melakukan diskusi, dan tanya jawab.
e.    Guru mendemonstrasikan ilustrasi/gambaran materi dengan model atau media yang sebenarnya.
f.    Guru bersama siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan.
g.    Guru melakukan evaluasi, yaitu menilai kemampuan siswa yang sebenarnya.

2.    Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Pembelajaran kooperatif atau cooperative learning merupakan istilah umum untuk sekumpulan strategi pengajaran yang dirancang untuk mendidik kerja sama kelompok dan interaksi antarsiswa atau merupakan suatu pembelajaran kelompok dengan jumlah peserta didik 2-5 orang dengan gagasan untuk saling memotivasi antara anggotanya untuk saling membantu agar tercapainya suatu tujuan pembelajaran yang maksimal. Pembelajaran kooperatif dikembangkan oleh Robert E. Slavin dan lebih difokuskan pada model Team Assisted Individualization. Oleh beliau, pembelajaran kooperatif pertama kali dikembangkan untuk mata pelajaran matematika, khususnya untuk materi keterampilan-keterampilan berhitung (computation skills). Metode ini dikembangkan karena dua alasan utama, yakni berharap agar metode ini menyediakan cara penggabungan kekuatan motivasi dan bantuan teman sekelas pada pembelajaran kooperatif dengan program pengajaran individual yang mampu memberi semua peserta didik materi yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dalam bidang matematika dan memungkinkan mereka untuk memulai materi-materi ini berdasarkan kemampuan mereka sendiri, serta untuk menerapkan teknik pembelajaran kooperatif untuk memecahkan banyak masalah pengajaran individual. Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan metode ini, yaitu:
a.    Guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan diselesaikan oleh kelompok siswa.
b.    Guru memberikan pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu (mengadopsi komponen placement test).
c.    Guru memberikan materi secara singkat (mengadopsi komponen teaching group).
d.    Guru membentuk kelompok kecil yang heterogen tetapi harmonis berdasarkan nilai ulangan harian siswa dan setiap kelompoknya terdiri dari 4-5 siswa (mengadopsi komponen teams).
e.    Setiap kelompok mengerjakan tugas dari guru berupa LKS yang telah dirancang sendiri sebelumnya dan guru memberikan bantuan secara individual bagi yang memerlukan (mengadopsi komponen team study).
f.    Ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan mempresentasikan hasil kerjanya dan siap untuk diberi ulangan oleh guru (mengadopsi komponen student creative).
g.    Guru memberikan post test untuk dikerjakan secara individu (mengadopsi komponen fact test).
h.    Guru menetapkan kelompok terbaik sampai dengan yang kurang berhasil (jika ada) berdasarkan hasil koreksi (mengadopsi komponen score and team recognition).
i.    Guru memberikan test formative sesuai dengan kompetensi yang ditentukan.

3.    Pembelajaran Kuantum (Quantum Learning)
Pembelajaran kuantum adalah pembelajaran yang mampu menciptakan interaksi dan keaktifan siswa, sehingga kemampuan, bakat, dan potensi siswa dapat berkembang, yang pada akhirnya mampu meningkatkan prestasi belajar dengan menyingkirkan hambatan belajar melalui penggunaan cara dan alat yang tepat, sehingga siswa dapat belajar secara mudah. Pembelajaran kuantum bersandar pada konsep “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Inilah asas utama quantum teaching. Maksud dari asas di atas adalah guru harus membangun jembatan autentik untuk memasuki kehidupan siswa. Dengan memasuki dunia siswa berarti guru mempunyai hak mengajar, sehingga siswa dengan sukarela, antusias dan semangat untuk mengikuti pelajaran. Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua bisnisnya bangkrut akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982 DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. SuperCamp sendiri didirikan atau dilahirkan oleh Learning Forum, sebuah perusahahan yang memusatkan perhatian pada hal-ihwal pembelajaran guna pengembanga potensi diri manusia. Pada tahap awal perkembangannya, pembelajaran kuantum terutama dimaksudkan untuk membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karier para remaja di rumah atau ruang-ruang rumah; tidak dimaksudkan sebagai metode dan strategi pembelajaran untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi di sekolah atau ruang-ruang kelas. Langkah-Langkah dari Pembelajaran Kuantum, yakni:
a.    Pengkondisian awal
Kegiatan yang dilakukan dalam pengkondisian awal meliputi: penumbuhan rasa percaya diri siswa, motivasi diri, menjalin hubungan, dan ketrampilan belajar.
b.    Penyusunan rancangan pembelajaran
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah penyiapan alat dan pendukung lainnya, penentuan kegiatan selama proses belajar mengajar, dan penyusunan evaluasi.
c.    Pelaksanaan metode pembelajaran kuantum
Tahap ini merupakan inti penerapan model pembelajaran kuantum. Kegiatan dalam tahap ini meliputi T-A-N-D-U-R: (1) penumbuhan minat, (2) pemberian pengalaman umum, (3) penamaan atau penyajian materi, (4) demonstrasi tentang pemerolehan pengetahuan oleh siswa, (5) pengulangan yang dilakukan oleh siswa, (6) perayaan atas usaha siswa.
d.    Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan terhadap proses dan produk untuk melihat keefektifan model pembelajaran yang digunakan.

4.    Matematika Realistik (Real Matematics)
Pembelajaran matematika dengan mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan manusia ini dikenal dengan Pembelajaran Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME). Ide utama dari model pembelajaran RME adalah manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika ini dilakukan dengan memanfaatkan realita dan lingkungan yang dekat dengan anak. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.  Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.  Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.  Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Langkah-langkah pembelajaran matematika realistik, yaitu:
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual. Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami masalah tersebut.
Langkah 2: Menyelesaikan masalah kontekstual. Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual pada Buku Siswa atau LKS dengan caranya sendiri.
Langkah 3: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam kelompok kecil.
Langkah 4: Menarik Kesimpulan. Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan.

5.    Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM)
PAIKEM merupakan singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Selanjutnya, PAIKEM dapat didefinisikan sebagai: pendekatan mengajar (approach to teaching) yang digunakan bersama metode tertentu dan pelbagai media pengajaran yang disertai penataan lingkungan sedemikian rupa agar proses pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan demikian, para siswa merasa tertarik dan mudah menyerap pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan. Selain itu, PAIKEM juga memungkinkan siwa melakukan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan sikap, pemahaman, dan keterampilannya sendiri dalam arti tidak semata-mata “disuapi” guru. Pendekatan PAIKEM perlu diterapkan karena PAIKEM lebih memungkinkan perserta didik dan guru sama-sama aktif terlibat dalam pembelajaran. Selama ini kita lebih banyak mengenal pendekatan pembelajaran konvensional. Hanya guru yang aktif (monologis), sementara para siswanya pasif, sehingga pembelajaran menjemukan, tidak menarik, tidak menyenangkan, bahkan kadang-kadang menakutkan siswa, selain itu PAIKEM juga lebih memungkinkan guru dan siswa berbuat  kreatif bersama. Guru mengupayakan segala cara secara kreatif untuk melibatkan semua siswa dalam proses pembelajaran. Sementara itu, peserta didik juga didorong agar  kreatif dalam berinteraksi dengan sesama teman, guru, materi pelajaran dan segala alat bantu belajar, sehingga hasil pembelajaran dapat meningkat. Dalam metode PAIKEM ada sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan metode bermain peran yang dipadukan dengan metode ceramah. Pertama, memotivasi kelompok-kelompok siswa yakni kelompok pemegang peran/pemain dan kelompok penonton/pengamat. Kedua, memilih pemeran (pemegang peranan/aktor). Pada tahap kedua ini, bersama-sama para siswa, guru mendiskusikan gambaran karakter-karakter yang akan diperankan. Ketiga, mempersiapkan pengamat. Dalam melangsungkan model ber¬main peran diperlukan adanya pengamat yang diambil dari kalangan siswa sendiri. Pengamat ini sebaiknya terlibat dalam cerita yang dimainkan. Agar seorang pengamat merasa terlibat, ia perlu diberi penjelasan mengenai tugas-tugasnya. Keempat, mempersiapkan tahapan peranan. Dalam bermain peran tidak diperlukan adanya dialog-dialog khusus seperti dalam sinetron, sebab yang dibutuhkan para siswa aktor itu adalah dorongan untuk berbicara dan bertindak secara kreatif dan spontan. Kelima, pemeranan. Setelah segala sesuatunya siap, mulailah para aktor memainkan peran masing-masing secara spontan sesuai dengan garis-garis besar dan tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Keenam, diskusi dan evaluasi. Seusai semua peran dimainkan, diskusi dan evaluasi perlu diadakan. Dalam hal ini guru bersama para aktor dan pengamat hendaknya melakukan pertukaran pikiran dalam rangka menilai bagian-bagian peran tertentu yang belum dimainkan secara sempurna. Ketujuh, pengulangan pemeranan. Dari diskusi dan evaluasi tadi biasa¬nya akan muncul gagasan baru mengenai alternatif-alternatif lain pemeranan. Kedelapan, diskusi dan evaluasi ulang. Tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji kembali hasil pemeranan ulang pada langkah ketujuh tadi. Diskusi dan evaluasi pada tahap ini berlangsung seperti diskusi dan evaluasi pada tahap keenam. Namun, dari diskusi dan evaluasi ulangan ini diharapkan akan muncul strategi-strategi pemecahan masalah yang lebih inovatif dan kreatif. Kesembilan, membagi pengalaman dan menarik generalisasi. Tahapan terakhir ini dilaksanakan untuk menarik faidah pokok yang terkandung dalam bermain peran, yakni membantu para siswa memeroleh penga¬laman-pengalaman baru yang berharga melalui aktivitas interaksi dengan orang lain.

6.    SAVI Learning
SAVI singkatan dari Somatic, Auditori, Visual dan Intektual. Somatic berasal dari bahasa yunani yaitu tubuh – soma. Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga pembelajaran somatic adalah pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera peraba, kinestetik, melibatkan fisik dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan pembelajaran berlangsung). Auditori, belajar dengan berbicara dan mendengar. Pikiran kita lebih kuat daripada uyang kita sadari, telinga kita terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa kita sadari. Ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak kita menjadi aktif. Visual, Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak kita terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada semua indera yang lain. Setiap siswa yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program computer. Intektual,  Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Tindakan pembelajar yang melakukan sesuatu dengan pikiran mereka secara internal ketika menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Hal ini diperkuat dengan makna intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, dan memecahkan masalah. Metode SAVI dikembangkan pertama kali oleh Dave Meier dan digunakan dalam pembelajaran matematika. Tahapan yang perlu ditempuh dalam SAVI adalah persiapan,penyampaian, pelatihan dan penampilan hasil.
a.    Tahap Persiapan (Kegiatan Pendahuluan)
Pada tahap ini guru membangkitkan minat siswa, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar.
b.    Tahap Penyampaian (Kegiatan Inti)
Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menemukan materi belajar yang barudengan cara melibatkan panca indera, dan cocok untuk semua gaya belajar.
c.    Tahap Pelatihan (Kegiata Inti)
Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa mengintegrasikan dan menyerapengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara.
d.    Tahap Penampilan Hasil (Tahap Penutup)
Pada tahap ini hendaknya membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuanatau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat.

7.    MASTER
Model MASTER merupakan suatu langkah dalam Cara Belajar Cepat (CBC) di terapkan untuk membuat suasana pembelajaran terasa menyenangkan dan jauh dari kesan kaku. Cara belajar cepat yang dimaksudkan disini ialah usaha yang dilakukan sehingga suatu konsep dapat dipahami dengan cepat dan baik. Enam langkah strategi CBC dikenal dengan singkatan MASTER, dimana : M = Motivating your mind (Memotivasi fikiran). A = Acquiring the information ( Memperoleh informasi). S = Searching out the meaning (Menyelidiki makna). T = Triggering the memory (Memicu memori). E = Exhibiting what you know (Memamerkan apa yang anda ketahui). R = Reflecting How you’ve learned (Merefleksikan bagaimana anda belajar).

8.    Konstruktivistik (Pembentukan Konsep)
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif  mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview. Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya. Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama. Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.


9.    Problem Posing (Analisis Persoalan)
Problem posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut. Model pembelajaran problem posing ini mulai dikembangkan di tahun 1997 oleh Lyn D. English, dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran matematika. Selanjutnya, model ini dikembangkan pula pada mata pelajaran yang lain. Problem posing digunakan karena dalam problem posing melibatkan banyak keterampilan berpikir khususnya pengajuan soal tipe pre-solution posing. Salah satu materi yang memerlukan kemampuan berpikir adalah materi lingkaran. Oleh karena itu peneliti memilih penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan profil berpikir siswa berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah dalam problem posing pada materi lingkaran. langkah-langkah model pembelajaran problem posing tipe pre solution posing  sebagai berikut:
a.    Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa.
b.    Guru memberikan latihan soal secukupnya.
c.    Guru membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen, tiap kelopok terdiri atas 4-5 siswa.
d.    Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal berdasarkan informasi yang diberikan guru, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Kemudian soal-soal  tersebut dipecahkan oleh  kelompok-kelompok lain.
e.    Guru memberikan tugas rumah secara individu sebagai penguatan.
Sedangkan Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran model problem posing-STAD adalah sebagai berikut:
a.    Guru mempresentasikan materi secara garis besar dan siswa memperhatikan.
b.    Guru membuat kelompok heterogen yang beranggotakan 4-6 orang. Lalu membagikan LKS pada setiap kelompok dan meminta mereka untuk mendiskusikannya, sedangkan guru mengontrol dan memantau kegiatan siswa.
c.    Pada lembar kerja kelompok tidak hanya berisi uraian materi yang harus didiskusikan tetapi siswa diminta juga untuk menyusun atau membuat soal dari informasi yang telah diberikan.
d.    Sebelum siswa membuat soal, guru memberi contoh dalam menyusun soal dari suatu informasi yang telah diketahui.
e.    Guru memberikan kesempatan untuk membuat dan membahas soal tersebut dalam satu kelompok.
f.    Selanjutnya soal ditukarkan dengan kelompok lain dan kelompok tersebut membahas soal yang telah didapat dari kelompok lain.
g.    Guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil pembahasan soal, serta meminta tanggapan dari kelompok lain.
h.    Guru memberikan kuis kepada masing-masing individu.
i.    Dari hasil kuis, dianalisis dan ditetapkan penghargaan yang akan diumumkan kepada semua siswa.

10.    Problem Solving (Pemecahan Soal secara Sistematik)
Metode Problem Solving adalah cara mengajar yang dilakukan dengan cara melatih para murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama – sama atau suatu proses dengan menggunakan strategi, cara, atau teknik tertentu untuk menghadapi situasi baru, agar keadaan tersebut dapat dilalui sesuai keinginan yang ditetapkan. Langkah-langkah penggunaan metode ini sebagai berikut:
a.    Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
b.    Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang muncul. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, dan berdiskusi.
c.    Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban tentu saja didasarkan pada data yang telah diperoleh pada langkah kedua di atas.
d.    Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut sehingga batul-betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok.
e.    Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai pada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan