Jumat, 13 Maret 2015

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH FILSAFAT UMUM “EKSISTENSIALISME” (MARTIN HEIDEGGER)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar     2
Daftar Isi     3
Bab 1 (Pendahuluan)     4
A.    Latar Belakang     4
B.    Rumusan Masalah     4
C.    Tujuan Penyusunan     4
D.    Manfaat Penyusunan     4
Bab 2 (Pembahasan)     5
A.    Biografi Martin Heidegger     5
B.    Eksistensialisme secara Umum     5
C.    Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger     7
Bab 3 (Kesimpulan)     9
Daftar Pustaka     10














BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dunia filsafat terus mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Dari zaman Yunani Kuno, yakni ribuan tahun yang lalu atau zaman sebelum masehi hingga saat ini telah banyak perubahan-perubahan baik dari tema permasalahannya maupun dari pemikiran-pemikiran para filsufnya. Dari filsafat kuno yang permasalahannya masih seputar materiali, berkembang menjadi pemikiran abad pertengahan yang didominasi pemikiran pra-skolatisisme, skolatisisme, mitisisme. Setelah itu terjadi lagi peralihan pemikiran ke masa transisi yang menjadi tonggak pemikiran modern. Setelah masa ini, terjadi lagi lompatan pemikiran ke masa pencerahan (engligtement). Dan hingga kini berakhir pada filsafat modern yang pemikirannya bergelut pada persoalan seperti realisme, neo-idealisme, pragmatisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitik, dan lain-lain.
Di sini akan dibahas secara khusus pada satu pemikiran yang menitik beratkan persoalannya pada eksitensi manusia, yakni gerakan eksistensialisme. Di dalam eksistensialisme sendiri sebenarnya terdapat beberapa orang tokoh atau filsuf, seperti Soren Aabye Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, serta Jean Paul Sartre. Namun dalam pembahasan ini akan lebih difokuskan pada satu tokoh atau filsuf saja, yakni Martin Heidegger.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Seperti apakah sosok seorang Martin Heidegger?
2.    Apa yang disebut dengan eksistensialisme?
3.    Bagaimanakah eksistensialisme menurut Martin Heidegger?

C.    TUJUAN PENYUSUNAN
1.    Memenuhi tugas pembuatan makalah pada mata kuliah Filsafat Umum
2.    Menambah wawasan tentang eksistensialisme baik seara umum maupun menurut Martin Heidegger

D.    MANFAAT PENYUSUNAN
1.    Mengetahui sosok seorang Martin Heidegger
2.    Mengetahui bagaimana eksistensalisme secara umum
3.    Mengetahui eksistensialisme menurut Martin Heidegger



BAB 2
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI MARTIN HEIDEGGER
Martin Heidegger adalah seorang filsuf asal Jerman yang lahir pada tanggal 26 September 1889 di Baden, Jerman. Heidegger adalah anak dari seorang koster di gereja St. Martinus. Ketika muda ia belajar di Konstanz, kemudian ia masuk ke Universitas Freiburg, jurusan teologi. Tak lama setelah itu ia beralih menekuni bidang filsafat dan meraih gelar doktor filsafat lewat desertasinya, Die Lehre Vom Urteil im Psychologimus. Pada tahun 1915 Heidegger mulai mengajar di Universitas Freiburg.
Di Universitas Freiburg ini, Heidegger dipercaya menjadi asisten dari Edmund Husserl, seorang tokoh fenomenologi yang ilmunya telah di dalami oleh Heidegger sewaktu duduk di bangku kuliah. Setelah itu pada tahun 1923, Heidegger diangkat menjadi professor di Universitas Marburg. Dan tak lama kemudian, yakni pada tahun 1928 ia diangkat menjadi professor di bekas kampusnya sendiri, yakni Freiburg menggantikan Husserl.
Heidegger menjabat sebagai rektor pada masa kekuasaan Hittler. Hal ini tentunya mengundang kritikan dari banyak pihak. Mereka menyayangkan keterlibatan Heidegger dalam membantu aktivitas Nazi. Inilah yang membuat Heidegger mengundurkan diri dan lebih memilih untuk hidup menyepi di desa terpencil hingga akhir hayatnya.

B.    EKSISTENSIALISME SECARA UMUM
Pembahasan mengenai eksistensialisme dimulai dari kata eksistensi, yang berasal dari kata Latin existere, yakni ex berarti keluar dan sitere berarti membuat berdiri. Artinya, apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ‘ada’.
    Dalam konsep eksistensi, satu-satunya faktor yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Setiap hal yang ada itu mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten. Dengan demikian jika sesuatu sama sekali tidak berhubungan dengan eksistensi maka juga sama sekali tidak tampil sebagai suatu eksisten.
Kesempurnaan eksistensi terletak di dalam “segala sesuatu”. Konsep eksistensi sebagai suatu yang paling komprehensif dan paling universal mempunyai landasan objektif. Ia bukan sekedar kata kosong atau khayalan pengertian kita belaka, tetapi konsep ini memiliki keluasan yang paling luas melampaui semua bidang. Dan dalam pengertian dasarnya, eksistensi adalah kesempurnaan fundamental dari setiap eksisten.
    Dalam gerakan eksistensialisme, istilah eksistensi dan eksistensial merupakan pengembangan istilah eksistensi. Dalam Bahasa Indonesia, kedua istilah ini bermakna sama, namun dalam Bahasa Inggris kedua istilah ini dibedakan dengan kata “existential” dan “existensiell”. Kedua istilah ini berasal dari filsafat eksitensialisme Jerman. Kata eksitensial menunjuk pada pengalaman akan realita dan berbagai dimensi kehidupan. Kemudian menunjuk bahwa kesadaran seseorang yang dalam bertindak dan memilih dapat menciptakan dan mengekspresikan identitas dirinya sendiri dalam proses bertindak dan memilih yang bertanggung jawab. Pengalaman terlibat kuat dalam hidup, baik dalam pemenuhannya maupun dalam kesulitannya.
    Kata eksistensial dapat dipakai sebagai kata benda dan sifat, yang menjelaskan apa yang menentukan pengertian mansuia terhadap dirinya sendiri yang independen terhadap pilihan bebasnya sendiri. Dengan demikian eksistensi seseorang itu adalah sebagaimana adanya dalam dunia. Sedangkan istilah “eksistensiil” adalah apa yang mempengaruhi hidup konkrit seseorang pada saat ini dan di tempat ini. Istilah ini dipikirkan sebagai akibat pilihan bebas.
Eksistensialisme adalah suatu pemikiran yang menggema dengan pengaruh yang luas. Meski belum berkembang secara sistematis sampai saat ini, namun titik awal gerakan ini sudah dimulai sejak abad ke-19. Tema khusus dari eksistensialisme ini sesungguhnya suatu kritikan tajam terhadap hasil-hasil yang timpang dari idealisme Jerman, yakni idealisme Hegel yang menguraikan bahwa pribadi individu itu dijabarkan pada suatu fase yang berkembang dalam ide absolut yang demikian kepenuhan eksistensi pribadi dijadikan ungkapan niscaya dari suatu konsep atau ide.
Begitu gerakan eksistensialisme muncul, sentral pemikiran beralih menekankan harkat individu sejati. Penekanan ini sebagai reaksi atau perilaku masyarakat modern yang sudah menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan ini ingin menyelamatkan perilaku masyarakat modern yang hanya mengejar materi.
Filsuf-filsuf eksistensialisme mengatakan bahwa konsep eksistensi manusia itu menampakkan diri pertama-tama sebagai bentuk manusia yang terkurung oleh kontingensi. Keadaan ini merupakan dasar dari determinasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam kontingensi, manusia selalu menemukan diri sebagai eksistensi manusiawi dalam dunia. Pemikiran ini kemudian berkembang ke aneka ragam bentuknya.
Gerakan eksistensialisme juga muncul sebagai reaksi terhadap kegiatan manusia yang cenderung ke hal-hal yang sifatnya hanya duniawi. Keadaan ini menyebabkan manusia akan kehilangan dirinya. Berapa pun banyaknya limpahan dari hal-hal yang bersifat duniawi, manusia tetap akan merasa cemas akan ketiadaan dan keterbatasan. Keterbatasan inilah yang nantinya akan menghalangi seberapa pun besarnya usaha kesadaran kita.
Serta apabila eksistensial dikaitkan dengan hal-hal yang irasional maka hal itu akan mengundang bahaya. Bahaya ini jika realitas objektif hanya ‘ada’ sejauh manusia memproyeksikannya sebagai manifestasi dari eksistensi manusiawi. Oleh karenanya penjelasan eksistensialisme tidak perlu jatuh pada bahaya ini, melainkan hanya kepada hal-hal yang dapat diungkapkan.

C.    EKSISTENSIALISME MENURUT MARTIN HEIDEGGER
Heidegger mulai menguraikan eksistensi dengan menitikberatkan pada pemahaman metafisik. Artinya melalui individu seseorang itu berpikir dan mencari eksistensi manusia. Pencarian ini pada akhirnya sampai pada eksistensi absolut. Pola pemikiran Heidegger menguraikan sesuatu dari ontik ke ontologis. Artinya, dari eksisten yang ada secara faktual ke eksisten yang mendukungnya. Ini berarti analisis eksistensi manusia hanyalah ontologi dasar. Setelah iu ia bergerak pada ontologi yang lebih umum, yang kemudian menampilkan berbagai demenasi tentang ontologi itu. Atas dasar pemikiran ini, Heidegger mengarahkan analisi tentang yang ada dan penyelidikan ini sama dengan metafisik. Ontologi dasar Heidegger mengungkapkan bahwa pemikiran termasuk iluminasi eksistensi, yang juga melengkapi metafisika.
Heidegger berpatok pada persoalan eksistensi manusia. Segala yang ada di luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Benda-benda yang berada di luar kita baru mempunyai arti jika hanya dalam kaitan dengan manusia. Lebih jauh dikatakan, dunia di luar manusia dipandang dan dikonseptualkan sebagai berbeda-beda secara struktural ke dalam wilayah-wilayah modalitas eksistensial dan modifikasi manusia.
Heidegger juga membicarakan konsep waktu. Gagasan tentang waktu dikaitkan dengan subyektif manusia. Wakt adalah tahap-tahap eksistesi yang tidak dapat dipisahkan baik masa lalu, sekarang, maupun masa yang akan datang. Dimensi waktu itu sama realnya. Dalam rentangan waktu seorang individu senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan. Potensialitas ini menjadi alternatif bagi manusia untuk bertoindak. Di sinilah manusia mempnyai pilihan-pilihan. Di sini pula manusia terbentur pada kehilangan-kehilangan. Artinya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal-hal yang belum direalisir. Terhadap pilihan-pilihan yang belum direalisir itu muncullah perasaan cemas pada manusia. Inilah realitas manusia, ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan. Hal ini pula ia merenung dirinya secara mendalam.
Skema pemikiran Heidegger terdapat dalam dua periode, yang dikenal dengan Heidegger I dan Heidegger II. Pemikiran Heidegger periode pertama termuat dalam Sein und Zeit (Adadan Waktu). Heidegger membantah anggapan bahwa pemikirannya yang termuat dalam Sein und Zeit bercirikan eksistensialis. Ia menegaskan tujuan diterbitkannya buku ini yakni “dengan cara baru mengajukan pertanyaan akan makna kata Ada”. Ang baru itu hanyalah caranya, sebab pertanyaan itu sendiri tidak merupakan pertanyaan baru.
Heidegger ingin merefleksi dan memecahkan teka-teki tentang arti kata “berada” yang sampai sekarang menurutnya masih samar-samar. Menurut Heidegger persoalan ini harus dijawab secara ontologis dan dengan metode fenomenologis. Dengan bantuan fenomenologi ia berusaha untuk mengidupkan kembali pertanyaan ini. Dalam pendahuluan bukunya ia menerangkan, “Secara konkrit menggarap pertanyaan akan makna “Ada”.
Yang dimaksud dengan “berada” adalah beradanya manusia, sedangkan benda-benda itu “yang berada”, hanya terletak begitu saja. Heidegger membedakan antara Sein dan Seiende. Sein adalah berada bagi manusia, sedangkan Seiende beradanya benda-benda. Berada bagi manusia adalah dasein (dasein manusia disebut eksistensi) yang berarti berada di sana, dalam arti juga menempati tempat tertentu, waktu tertentu. Juga dikatakan bahwa manusia berada di dunia ini tidak sendiri, ia berada bersama-sama mitsein.
Dalam filsafat eksistensialis, Heidegger mencoba menganalisa manusia sebagai ‘dasein’ itu. Heidegger menjelaskan bahwa Dasein dicirikan sebagai eksistensi dan berada dalam dunia. Struktur-struktur dasar atau ciri-ciri hakiki dasein disebut “existensialis”.
Dalam pemikiran Heidegger II terjadi lompatan pemikiran dari sang tokoh, Heidegger. Pemikiran ini dikenal dengan istilah Kehre. Buku periode pertama dengan judul ‘Ada dan Waktu’dibalik menjadi ‘Waktu dan Ada’. Namun pemikiran pada periode ini absur. Karena itu, periode ini dianggap sebagai perubahan pemikiran Heidegger.
Selain mengenai manusia, Heidegger juga membicarakan tentang kematian. Heidegger menggambarkan kehidupan sehari-hari manusia sebagai eksistensi yang tidak sebenarnya. Keadaan ini menggambarkan seseorang mempunyai kemungkinan untuk ke luar dari eksistensi yang sebenarnya. Ia dapat keluar dari belenggu pendapat orang banyak dan ia dapat menemukan dirinya sendiri. Manusia harus merencanakan diri atau mengusahakan dirinya sampai pada kemungkinan yang terakhir, yang tidak dapat dielakkan, yakni kematian atau maut. Kematian adalah batas akhir dari keberadaan kita sebagai eksistensi, batas yang tidak dapat dikalahkan.
Kematian dalam pemahaman Heidegger bukan kesadaran umum yang ada sehari-hari, yakni bahwa orang akan mati, juga bukan kematian orang lain tetapi kematian di sini menunjukkan bahwa sejak seseorang itu mempunyai kemungkinan maka semua kemungkinan itu dimustahilkan. Artinya segala aktifitas kita akan berakhir melalui peristiwa kematian. Kematian ini mewujudkan suatu kesatuan yang tidak dapat dipatahkan dengan eksistensi kita. Manusia tahu bahwa ia harus mati dan untuk melupakan hal itu ia menyibukkan diri dengan kesia-siaan hidup.
Kematian itu tidak dapat membri kepastian, karena kematian juga “kesia-siaan”, “bukan apa-apa”. Suara yang memperingatkan bahwa keadaan dalam keruntuhan itu ‘bukan apa-apa’, terus-menerus mendengung dari dalam kata hati atau nurani manusia, sekalipun seruan itu tidak didengar. Dalam keadaan seperti ini manusia hidup secara otentik, manusia dapat mengungkapkan kebenaran dan ia dapat menghayati kehidupan dalam perspektif baru.




BAB 3
KESIMPULAN
Eksistensialisme adalah suatu pemikiran yang menggema dengan pengaruh yang luas. Tema khusus dari eksistensialisme ini sesungguhnya suatu kritikan tajam terhadap hasil-hasil yang timpang dari idealisme Jerman, yakni idealisme Hegel yang menguraikan bahwa pribadi individu itu dijabarkan pada suatu fase yang berkembang dalam ide absolut yang demikian kepenuhan eksistensi pribadi dijadikan ungkapan niscaya dari suatu konsep atau ide.
Sedangkan seorang filsuf asal Jerman bernama Martin Heidegger berpatok pada persoalan eksistensi manusia. Segala yang ada di luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Benda-benda yang berada di luar kita baru mempunyai arti jika hanya dalam kaitan dengan manusia. Lebih jauh dikatakan, dunia di luar manusia dipandang dan dikonseptualkan sebagai berbeda-beda secara struktural ke dalam wilayah-wilayah modalitas eksistensial dan modifikasi manusia.
Dan pokok dari pembahasan ini didapatkan bahwasannya eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Secara umum eksistensi berarti keberadaan. Secara khusus eksistensi adalah cara manusia berada di dalam di dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya. Berbeda dengan manusia. Benda-benda menjadi lebih berarti karena manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusia yang bereksistensi.












DAFTAR PUSTAKA

Dagun, Save M, Filsafat Eksistensialisme, 1990, Jakarta: PT Melton Putra
http://pesantrenbudaya.com/?id=356

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan