BAB 2
PEMBAHASAN
A. AUTISME
1. Pengertian
Istilah autisme berasala dari kata autos yang berarti ‘diri sendiri’ dan –isme yang berarti aliran. Autisme berarti paham yang tertarik pada dunianya sendiri. Ada yang menyebutkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku. Gejalanya mulai tampak pada anak sebelum usia tiga tahun.
Menurut Dr. Hardian, gangguan autistik ditandai tiga gejala utama yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan perilaku yang stereotipik. Diantara tiga hal tersebut, yang paling penting untuk diperbaiki terlebih dahulu interkasi sosial. Apabila gangguan interaksi membaik, sering kali gangguan komunikasi dan perilaku akan membaik secara otomatis.
Sementara itu, menurut Mudjito, autis ialaha anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antar jaringan dan fungsi otak tidak singkron. Ada yang maju pesat sementara yang lainya biasa- biasa saja. Survei menunjukan, anak-anak autis lahir dari kalangan ibi-ibu menengah keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
2. Karakteristik
Anak yang autis sedikitnya memiliki enam karakter, antara lain sebagai berikut.
a. Masalah di Bidang Komuniksi
• Kata yang digunakan kadang tidak sesuai dengan artinya.
• Mengoceh tanpa arti secar berulang-ulang.
• Bicara tidak pakai unntuk alat komunikasi.
• Senag meniru kata-kata atau lagu-lagu tanpa mengetahui artinya.
• Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yand diinginkan.
b. Masalah di Bidang Interaksi
• Suka menyendiri.
• Menghindar kontak mata.
• Tidak tertarik untuk bermain bersama.
• Menolak atau menjauh bila diajak bermain.
c. Masalah di Bidang Sensoris
• Tidak peka terhadap sentuhan.
• Tidak peka terhadap rasa sakit
• Langsung menutup telinga bila mendengar suara keras.
• Senang mencium/menjilat benda-benda di sekitarnya.
d. Masalah di Bidang Pola Bermain
• Tidak bermain seperti anak lain pada umumnya.
• Tidak bermain sesuai fungsi mainan.
• Sangat lekat dengan benda-benda tertentu.
• Senang terhadap benda-benda tertentu.
• Tidak memilki kreativitas dan imajinasi.
• Tidak suka bermain dangan teman sebayanya.
e. Masalah di Bidang Perilaku
• Dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif.
• Melakukan gerakan yang berulang-ulang.
• Merangsang sendiri.
• Duduk bengong tatpan kosong.
f. Masalah di Bidang Emosi
• Sering marah, menangis, tertawa tanpa alasan.
• Kadang-kadang agresif dan merusak.
• Kadang-kadang menyakiti diri sendiri.
• Dapat mengamuk tak terkendali.
• Tidak memiliki empati.
3. Indikasi dan Penyebab Autis
Autisme atau disebut dengan autistic Spectrum Disorder hingga kini belu diketahui penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita auri agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.
Penyebab autis sangat kompleks, anatara lain tidak terlepas dari faktor genetikadan lingkungan sosial. Para ilmuawan yang bertemu pada “autism summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa gejal autis disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor- faktor lingkungan yang belum teridentifikasi.
Mengutip International Herald (10/2), Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitmya dua indikasi autisme pada bayi yang baru lahir. Pertama, zat pada otak yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisah dalam otak berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagian depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil daripada rata-rata lingkaran bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan 2 tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis berusia 5 tahun lebih kurang sama ukurang otak anak normal berusia 13 tahun.
Beberapa autis lain juga mengungkapkan, autisme juga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrsisi buruk, perdarahan, karacunan makanan saat hamil. Hal ini menghambat pertumbuhan sel otak pada bayi yang dikandung terutam fungsi pemahamn, komunikasi, dan interaksi.
Terakait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan cepat saji. Bisa karena sayur dan buah yang dikonsumsi mengandung zat pestisida.
4. Langkah Penanganan
Autisme masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepeuhnya oleh kedokteran. Para pakar belum sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun, sebagian pakar setuju bahwa sindrom autis terjadi karena kelainan pada otak.
Hingga kini, bisa tidaknya autis disembuhkan (total) juga masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun, orang tua hendaknya harus mencoba berbagaiterapi. Setidaknya dengan teapi, keadaan si anak lebih baik.
Saat ini, ada berbagia terapi autis, baik yang diakui dunian medis maupun yang masih berdasarkan disiplin ilmu tradisional. Diharapkan denag mencoba teapi ini anak yang mengalami autis bisa berkembang lebih baik. Macam-macam terapi autis diantaranya sebagai berikut.
a. Metode ABA
Salah satu metode intervensi dini yang banyak diterapkan di indonesia modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagi metode Applied Behavioral Analysis (ABA). Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilanya bisa dinilai secara objektif. Penatalaksanaannya dialkukan 4-8 jam sehari.
Melalui metode ini, anak dilatih melakukan berbagia macam ketrampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa. Namun yang pertama yang dilakukan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri (misalnya memaksakan kehendak) menjadi perilaku lazim dan diterima di masyrakat.
b. Masuk Kelompok Khusus
Biasanya setelah 1-2 tahun menjalani intervensidini dengan baik, si anak siap masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk ke kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara secar individual. Disini anak akan mendapatkan penangangan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikologi, terapi wicara, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagog.
Anak dengan kecerdasan normal yang sudah siap masuk ke sekolah umum pun masih bisa mendapatkan penanganan khusus bila diperlukan. Disekolah umum, peran guru sangat penting. Namun dalam kenyataan, banyak sekolah yang menolak menerima murid penyandang autisme.
c. Pemberian Obat
Tidak ada satu pun obat yang dibuat khusus untuk menyembuhkan autisme. Lagi pulaobat-obatan itu dipakai untuk menyembuhkan gejala. Namun, bila ditemukan terdapat gangguan pada sumsum saraf pusat, pengobatan bisa lebih terarah. Beberapa jenis obat bahkan mempunyai efek yang sangat bagus untuk menimbulkan respon anak terhadap dunia luar. Dengan pemakaian obat intervensi dini maupun penatalaksanaan lain akan lebih cepat berhasil. Bila keberhasilan stabil, obat bisa dihentikan.
Obat-obatan menjadi alternatif lain di dalam menyembuhkan anak autis. Hanya saja kecenderungannya obat atau suplemen yang ia dapatkan lebih bersiftat kimiawi dalam jangka panjang. Padahal pembeian obat kimiawi dalam jangka panjang akan memberika efek samping bagi anak lebih baik menghindari obat kimia dan hanya menggunakan suplemen herbal.
Terlepas dari jenis-jeni obat atu suplemen di atas, bahwa anak autis harus terhindar dari bahan makanan yang mengandung gluten, kasein, dan zat tambahan makanan seperti MSG, pewarna makanan, dan gula sintetis aspartam.
d. Penggunaan Alat Bantu
Banyak anak autisme belajar lebih baik dengan menggunakan penglihatannya. Ciri anak dengan kekuatan visual adalah senang main puzzle, bentuk-bentuk, sukan nonto video, TV terutama film kartun, menyukai huruf, angka, dan kadang-kadang dapat membaca tanpa diajari. Media gambar dianggap efektif karena berbicara memerlukan waktu yang singkat (milisecond), jadi terlalu cepat untuk anak dengan gangguan komunikasi.
B. KETERLAMBATAN UMUM DALAM FUNGSI KOGNITIF DAN SOSIAL
Beberapa siswa memiliki kebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan perkembangan pribadi dan sosial mereka. Banyak siswa dengan ketidakmampuan kognitif, sosial ataupun fisik memiliki self-esteem yang lebih rendah dibandingkan teman-teman sekelas mereka. Siswa-siswa dengan keterbelakangan mental umumnya memilki pemahaman yang sangat terbatas mengenai cara berperilaku yang tepat dalam situasi-situasi sosial. Para siswa yang memiliki gangguan emosional ataupun perilaku mungkin juga memiliki keterbatasan dalam mempertimbangkan perspektif orang lain dan dalam kemampuan memecahkan masalah sosial, akibatnya mereka hanya memiliki sedikit teman (itupun jika ada). Selain itu, siswa dengan ketidakmampuan yang kompleks, terutama yang mengidap ADHD, gangguan spektrum autis, gangguan emosional dan perilaku, atau retardasi mental, bisa jadi mengalami kesulitan menarik kesimpulan yang akurat mengenai perilaku serta bahasa tubuh orang lain.
1. Karakteristik
Siswa yang mengalami keteterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial memiliki beberapa karakteristik yang dapat diamati, yakni umumnya memiliki self-esteem atau harga diri yang rendah, tingkat keterampilan sosialnya seperti lazimnya dimiliki anak yang lebih muda darinya, kesulitan mengidentifikasi dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial, serta ide-ide mengenai yang benar dan yang salah yang acapkali konkret dan prakonvensional.
a. Harga Diri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, harga diri berarti kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Penghargaan diri juga kadang dinamakan martabat diri atau gambaran diri. Coopersmith membagi taraf harga diri dalam tiga kategori, yaitu taraf harga diri tinggi, taraf harga diri sedang dan taraf harga diri rendah. Dalam kaitannya dengan keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, harga diri yang rendah adalah salah satu karakteristiknya.
Individu yang mempunyai taraf harga diri rendah menurut Coopersmith menunjukkan sifat-sifat keputusasaan, selalu membayangkan kegagalan, selalu dihinggapi depresi dan selalu merasa tidak menarik dan merasa terisolir dalam pergaulannya. Kemauan untuk menghadapi kekurangan dan kelemahan sangat lemah, takut mengatur terhadap orang yang berbuat kesalahan, sangat peka terhadap kritik serta tidak merasa bergaul dengan orang lain.
Menurut Clemes, karakteristik harga diri rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Meremehkan bakatnya sendiri. Individu akan mengatakan,” Saya tidak bisa melakukan ini atau itu.”
- Merasa bahwa orang lain tidak menghargainya. Individu akan merasa tidak yakin atau selalu bersikap negatif terhadap dukungan dan kasih sayang orang tua dan temannya.
- Merasa tidak berdaya. Kurang percaya diri atau bahkan ketidakberdayaan akan tampak dalam sikap dan tindakan anak remaja. Individu tidak mampu berusaha keras menghadapi tantangan atau masalah.
- Mudah dipengaruhi orang lain. Gagasan dan perlakuannya kerap berubah mengikuti orang yang banyak bergaul dengannya, seringkali individu dimanipulasi orang yang berkepribadian kuat.
- Menunjukkan deretan emosi dan perasaan yang sempit.
- Remaja dengan harga diri rendah ini sering menunjukkan beberapa emosi yang khas seperti tidak sopan, keras kepala, histeria.
- Menghindari situasi yang menimbulkan kecemasan.
- Menjadi defensif dan mudah frustasi. Individu akan mudah tersinggung, tidak mampu menerima kritik atau perintah yang tidak diduga dan selalu mempunyai dalih mengapa individu tidak dapat melaksanakannya.
- Menyalahkan orang lain karena kelemahan sendiri. Individu kerap kali menyalahkan orang lain atau keadaan yang tidak menguntungkan sebagai penyebab kesulitannya.
Orang yang memandang rendah dirinya sendiri kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri, sering memilih tujuan yang kurang realistis atau bahkkan tidak memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan, mengingat masa lalu secara negatif, berkubang dalam perasaan negatif, punya reaksi emosional dan behavioral yang lebih buruk dalam merespon tanggapan negatif dari orang lain, kurang mampu memunculkan feedback positif terhadap dirinya sendiri, lebih memerhatikan dampak sosial mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah terkena depresi atau berpikir terlalu mendalam saat mereka menghadapi stress atau kekalahan.
Butler, Hokanson, & Flynn berpendapat bahwa harga diri yang rendah akan berpengaruh negatif pada individu yang bersangkutan dan mengakibatkan individu tersebut akan menjadi stress dan depresi. Selain itu, menurut Coopersmith orang yang memiliki harga diri rendah senantiasa mudah mengalami kecemasan, tidak bahagia, selalu putus asa, tidak percaya diri. Lebih dari itu orang yang memiliki penghargaan diri rendah mudah dihinggapi rasa takut, seperti perasaan tidak diterima dan selalu merasa dibenci, selalu merasa gagal, terlalu takut menghadapi kelemahan dan kekurangan dirinya, sangat peka terhadap kritik dan mudah tersinggung, serta cenderung menarik diri dalam pergaulannya.
b. Keterampilan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterampilan berarti kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Jadi, keterampilan sosial adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan sosial atau kemasyarakatan. Atau bisa juga diartikan sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Gresham dan Reschly mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain:
• Perilaku Interpersonal
Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.
• Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri
Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.
• Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis
Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.
• Penerimaan Teman Sebaya
Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah memberi dan menerima informasi, dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.
• Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif.
Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial adalah orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik,
serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya.
Dalam kaitannya dengan keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, keterampilan sosial yang “terlambat” adalah salah satu karakteristiknya. Terlambat di sini berarti, tingkat keterampilan sosial yang ia miliki saat itu, seharusnya sudah ia miliki sebelumnya, atau dengan kata lain tingkat keterampilan sosialnya saat itu setara dengan individu lain yang apabila dilihat dari segi usia terpaut jauh dengannya, yakni lebih muda darinya.
c. Isyarat Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isyarat adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai tanda atau alamat. Jadi, isyarat sosial adalah sesuatu yang dipakai sebagai tanda dalam lingkup sosial. Dalam kaitannya dengan keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, anak dikatakan mengalami keterlambatan apabila ia mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial.
Siswa yang secara khusus mengalami kesulitan yang berat dapat diidentifikasi mengidap keterbelakangan mental (mental retardation), yaitu hambatan yang ditandai dengan inteligensi umum di bawah rata-rata dan kurangnya perilaku adaptif. Di mana perilaku adaptif sendiri bermakna perilaku yang berkaitan dengan keterampilan hidup sehari-hari dan perilaku yang sesuai dalam situasi sosial, digunakan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi siswa yang mengalami keterbelakangan mental.
Siswa yang mengalami keterbelangan mental memperlihatkan keterlambatkan yang signifikan di sebagian besar aspek perkembangan kognitif dan sosialnya. Secara lebih khusus, mereka memperlihatkan karakteristk-karakteristik berikut ini:
• Inteligensi umum berada di bawah rata-rata. Siswa seperti ini memiliki skor tes inteligensi yang cukup rendah, selain itu siswa-siswa ini belajar secara lambat dan secara konsisten menunjukkan prestasi yang rendah di semua mata pelajaran.
• Perilaku adaptif lemah. Siswa yang mengalami keterbelakangan mental berperilaku seperti anak-anak. Kurangnya perilaku adaptif ini mencakup keterbatasan dalam inteligensi praktis, yakni mengelola aktivitas-aktivitas biasa sehari-hari, serta inteligensi sosial, yakni bertingkahlaku secara tepat dalam berbagai situasi sosial.
Keterbelakangan mental seringkali disebabkan oleh kondisi genetik. Sebagai contoh, sebagian besar anak-anak yang mengalami down syndrome mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif. Dalam kasus-kasus lain, penyebabnya adalah faktor-faktor biologis tetapi tidak ditrunkan (noninherited), seperti kekurangan gizi atau konsumsi alkohol secara berlebihan selama kehamilan atau kekurangan oksigen dalam proses kelahiran yang sulit. Selain itu, dalam situasi-situasi lain, faktor lingkungan, seperti diabaikan oleh orang tua, lingkungan rumah yang sangat miskin dan kurang memberikan stimulasi, dapat menjadi penyebab keterbelakangan mental.
Di samping itu, beberapa siswa yang mengalami keterbelangan mental yang mengikuti kelas pendidikan, cenderung memperlihatkan beberapa karakterisik berikut ini:
• Hasrat yang tulus untuk menjadi bagian dari sekolah dan merasa cocok berada di sekolah
• Kurangnya pengetahuan umum mengenai dunia
• Keterampilan membaca dan berbahasa yang buruk
• Kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki strategi-strategi belajar dan strategi memori yang efektif
• Kesulitan melengkapi detil-detil ketika instruksi yang diberikan tidak lengkap atau ambigu
• Kesulitan memahami gagasan abstrak
• Kesulitan menggeneralisasi sesuatu yang dipelajari dalam suatu situasi ke situasi baru
• Keterampilan motorik yang rendah
• Perilaku bermain dan keterampilan interpesonal yang tidak matang
2. Strategi Pengajaran
Ada beberapa strategi yang berguna untuk siswa-siswa yang mengalami keterbelakangan mental, antara lain:
Memberikan instruksi secara perlahan-lahan untuk memastikan mereka dapat mengikuti materi yang disampaikan. Ketika sedang menangani siswa yang mengalami keterbelangan mental, peralihan ke topik atau tugas baru seharusnya dilakukan secara perlahan-lahan dan jangan bosan membuat pengulangan-pengulangan sehingga memberi mereka kesempatan untuk menguasai materi yang diajarkan. Siswa yang mengalami keterbelakangan mental biasanya memiliki sejarah kegagalan yang panjang dalam mengerjakan tugas-tugas akademik. Karena itu, mereka membutuhkan pengalaman berhasil yang sering untuk belajar bahwa dengan bekerja keras, mereka dapat berhasil di sekolah.
Menjelaskan tugas-tugas secara konkret, spesifik dan lengkap. Apabila kita hanya mengatakan kepada seorang siswa yang mengalami keterbelakangan mental “letakkan lembaran absen ini di kantor kepala sekolah”, ada kemungkinan siswa tersebut tidak kembali lagi ke kelas setelah melaksanakan perintah itu. Karena itu, sebaiknya mengatakan, “Budi, pergilah ke kantor kepala sekolah, berikan lembaran absen ini kepada Bu Eva, lalu kembalilah ke sini”.
Menggunakan scaffolding yang memadai untuk mendorong perhatian dan proses-proses kognitif efektif yang lain. Karena siswa yang mengalami keterbelakangan mental kerap kurang menyadari cara terbaik untuk belajar dan mengingat informasi baru, kita perlu memberikan bimbingan yang eksplisit mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan (secara mental) ketika belajar. Sebagai contoh, kita dapat menggunakan frase seperti “lihatlah” atau “dengarkan” untuk membantu mereka memusatkan perhatian. Kita juga dapat mengajari mereka beberapa strategi mengingat yang sederhana dan konkret, seperti mengulang-ulang sendiri instruksi yang telah didapatkan. Kita juga dapat memeberikan pedoman belajar yang sederhana yang dapat memberikan petunjuk spesifik mengenai hal-hal yang harus diperhatikan saat belajar.
Memasukkan keterampilan kejuruan dan keterampilan hidup yang umum ke dalam kurikulum. Bagi sebagian besar siswa yang mengalami keterbelakangan mental, salah satu bagian penting dari kurikulum sekolah menengah atas adalah melatih keterampilan hidup yang umum dan keterampilan kerja. Pelatihan-pelatihan semacam itu paling mungkin efektif apabila dilakukan dalam setting yang realistis, yang semirip mungkin dengan setting yang akan mereka alami setelah lulus nanti.
PEMBAHASAN
A. AUTISME
1. Pengertian
Istilah autisme berasala dari kata autos yang berarti ‘diri sendiri’ dan –isme yang berarti aliran. Autisme berarti paham yang tertarik pada dunianya sendiri. Ada yang menyebutkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku. Gejalanya mulai tampak pada anak sebelum usia tiga tahun.
Menurut Dr. Hardian, gangguan autistik ditandai tiga gejala utama yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan perilaku yang stereotipik. Diantara tiga hal tersebut, yang paling penting untuk diperbaiki terlebih dahulu interkasi sosial. Apabila gangguan interaksi membaik, sering kali gangguan komunikasi dan perilaku akan membaik secara otomatis.
Sementara itu, menurut Mudjito, autis ialaha anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antar jaringan dan fungsi otak tidak singkron. Ada yang maju pesat sementara yang lainya biasa- biasa saja. Survei menunjukan, anak-anak autis lahir dari kalangan ibi-ibu menengah keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
2. Karakteristik
Anak yang autis sedikitnya memiliki enam karakter, antara lain sebagai berikut.
a. Masalah di Bidang Komuniksi
• Kata yang digunakan kadang tidak sesuai dengan artinya.
• Mengoceh tanpa arti secar berulang-ulang.
• Bicara tidak pakai unntuk alat komunikasi.
• Senag meniru kata-kata atau lagu-lagu tanpa mengetahui artinya.
• Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yand diinginkan.
b. Masalah di Bidang Interaksi
• Suka menyendiri.
• Menghindar kontak mata.
• Tidak tertarik untuk bermain bersama.
• Menolak atau menjauh bila diajak bermain.
c. Masalah di Bidang Sensoris
• Tidak peka terhadap sentuhan.
• Tidak peka terhadap rasa sakit
• Langsung menutup telinga bila mendengar suara keras.
• Senang mencium/menjilat benda-benda di sekitarnya.
d. Masalah di Bidang Pola Bermain
• Tidak bermain seperti anak lain pada umumnya.
• Tidak bermain sesuai fungsi mainan.
• Sangat lekat dengan benda-benda tertentu.
• Senang terhadap benda-benda tertentu.
• Tidak memilki kreativitas dan imajinasi.
• Tidak suka bermain dangan teman sebayanya.
e. Masalah di Bidang Perilaku
• Dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif.
• Melakukan gerakan yang berulang-ulang.
• Merangsang sendiri.
• Duduk bengong tatpan kosong.
f. Masalah di Bidang Emosi
• Sering marah, menangis, tertawa tanpa alasan.
• Kadang-kadang agresif dan merusak.
• Kadang-kadang menyakiti diri sendiri.
• Dapat mengamuk tak terkendali.
• Tidak memiliki empati.
3. Indikasi dan Penyebab Autis
Autisme atau disebut dengan autistic Spectrum Disorder hingga kini belu diketahui penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita auri agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.
Penyebab autis sangat kompleks, anatara lain tidak terlepas dari faktor genetikadan lingkungan sosial. Para ilmuawan yang bertemu pada “autism summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa gejal autis disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor- faktor lingkungan yang belum teridentifikasi.
Mengutip International Herald (10/2), Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitmya dua indikasi autisme pada bayi yang baru lahir. Pertama, zat pada otak yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisah dalam otak berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagian depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil daripada rata-rata lingkaran bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan 2 tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis berusia 5 tahun lebih kurang sama ukurang otak anak normal berusia 13 tahun.
Beberapa autis lain juga mengungkapkan, autisme juga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrsisi buruk, perdarahan, karacunan makanan saat hamil. Hal ini menghambat pertumbuhan sel otak pada bayi yang dikandung terutam fungsi pemahamn, komunikasi, dan interaksi.
Terakait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan cepat saji. Bisa karena sayur dan buah yang dikonsumsi mengandung zat pestisida.
4. Langkah Penanganan
Autisme masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepeuhnya oleh kedokteran. Para pakar belum sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun, sebagian pakar setuju bahwa sindrom autis terjadi karena kelainan pada otak.
Hingga kini, bisa tidaknya autis disembuhkan (total) juga masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun, orang tua hendaknya harus mencoba berbagaiterapi. Setidaknya dengan teapi, keadaan si anak lebih baik.
Saat ini, ada berbagia terapi autis, baik yang diakui dunian medis maupun yang masih berdasarkan disiplin ilmu tradisional. Diharapkan denag mencoba teapi ini anak yang mengalami autis bisa berkembang lebih baik. Macam-macam terapi autis diantaranya sebagai berikut.
a. Metode ABA
Salah satu metode intervensi dini yang banyak diterapkan di indonesia modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagi metode Applied Behavioral Analysis (ABA). Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilanya bisa dinilai secara objektif. Penatalaksanaannya dialkukan 4-8 jam sehari.
Melalui metode ini, anak dilatih melakukan berbagia macam ketrampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa. Namun yang pertama yang dilakukan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri (misalnya memaksakan kehendak) menjadi perilaku lazim dan diterima di masyrakat.
b. Masuk Kelompok Khusus
Biasanya setelah 1-2 tahun menjalani intervensidini dengan baik, si anak siap masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk ke kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara secar individual. Disini anak akan mendapatkan penangangan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikologi, terapi wicara, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagog.
Anak dengan kecerdasan normal yang sudah siap masuk ke sekolah umum pun masih bisa mendapatkan penanganan khusus bila diperlukan. Disekolah umum, peran guru sangat penting. Namun dalam kenyataan, banyak sekolah yang menolak menerima murid penyandang autisme.
c. Pemberian Obat
Tidak ada satu pun obat yang dibuat khusus untuk menyembuhkan autisme. Lagi pulaobat-obatan itu dipakai untuk menyembuhkan gejala. Namun, bila ditemukan terdapat gangguan pada sumsum saraf pusat, pengobatan bisa lebih terarah. Beberapa jenis obat bahkan mempunyai efek yang sangat bagus untuk menimbulkan respon anak terhadap dunia luar. Dengan pemakaian obat intervensi dini maupun penatalaksanaan lain akan lebih cepat berhasil. Bila keberhasilan stabil, obat bisa dihentikan.
Obat-obatan menjadi alternatif lain di dalam menyembuhkan anak autis. Hanya saja kecenderungannya obat atau suplemen yang ia dapatkan lebih bersiftat kimiawi dalam jangka panjang. Padahal pembeian obat kimiawi dalam jangka panjang akan memberika efek samping bagi anak lebih baik menghindari obat kimia dan hanya menggunakan suplemen herbal.
Terlepas dari jenis-jeni obat atu suplemen di atas, bahwa anak autis harus terhindar dari bahan makanan yang mengandung gluten, kasein, dan zat tambahan makanan seperti MSG, pewarna makanan, dan gula sintetis aspartam.
d. Penggunaan Alat Bantu
Banyak anak autisme belajar lebih baik dengan menggunakan penglihatannya. Ciri anak dengan kekuatan visual adalah senang main puzzle, bentuk-bentuk, sukan nonto video, TV terutama film kartun, menyukai huruf, angka, dan kadang-kadang dapat membaca tanpa diajari. Media gambar dianggap efektif karena berbicara memerlukan waktu yang singkat (milisecond), jadi terlalu cepat untuk anak dengan gangguan komunikasi.
B. KETERLAMBATAN UMUM DALAM FUNGSI KOGNITIF DAN SOSIAL
Beberapa siswa memiliki kebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan perkembangan pribadi dan sosial mereka. Banyak siswa dengan ketidakmampuan kognitif, sosial ataupun fisik memiliki self-esteem yang lebih rendah dibandingkan teman-teman sekelas mereka. Siswa-siswa dengan keterbelakangan mental umumnya memilki pemahaman yang sangat terbatas mengenai cara berperilaku yang tepat dalam situasi-situasi sosial. Para siswa yang memiliki gangguan emosional ataupun perilaku mungkin juga memiliki keterbatasan dalam mempertimbangkan perspektif orang lain dan dalam kemampuan memecahkan masalah sosial, akibatnya mereka hanya memiliki sedikit teman (itupun jika ada). Selain itu, siswa dengan ketidakmampuan yang kompleks, terutama yang mengidap ADHD, gangguan spektrum autis, gangguan emosional dan perilaku, atau retardasi mental, bisa jadi mengalami kesulitan menarik kesimpulan yang akurat mengenai perilaku serta bahasa tubuh orang lain.
1. Karakteristik
Siswa yang mengalami keteterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial memiliki beberapa karakteristik yang dapat diamati, yakni umumnya memiliki self-esteem atau harga diri yang rendah, tingkat keterampilan sosialnya seperti lazimnya dimiliki anak yang lebih muda darinya, kesulitan mengidentifikasi dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial, serta ide-ide mengenai yang benar dan yang salah yang acapkali konkret dan prakonvensional.
a. Harga Diri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, harga diri berarti kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Penghargaan diri juga kadang dinamakan martabat diri atau gambaran diri. Coopersmith membagi taraf harga diri dalam tiga kategori, yaitu taraf harga diri tinggi, taraf harga diri sedang dan taraf harga diri rendah. Dalam kaitannya dengan keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, harga diri yang rendah adalah salah satu karakteristiknya.
Individu yang mempunyai taraf harga diri rendah menurut Coopersmith menunjukkan sifat-sifat keputusasaan, selalu membayangkan kegagalan, selalu dihinggapi depresi dan selalu merasa tidak menarik dan merasa terisolir dalam pergaulannya. Kemauan untuk menghadapi kekurangan dan kelemahan sangat lemah, takut mengatur terhadap orang yang berbuat kesalahan, sangat peka terhadap kritik serta tidak merasa bergaul dengan orang lain.
Menurut Clemes, karakteristik harga diri rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Meremehkan bakatnya sendiri. Individu akan mengatakan,” Saya tidak bisa melakukan ini atau itu.”
- Merasa bahwa orang lain tidak menghargainya. Individu akan merasa tidak yakin atau selalu bersikap negatif terhadap dukungan dan kasih sayang orang tua dan temannya.
- Merasa tidak berdaya. Kurang percaya diri atau bahkan ketidakberdayaan akan tampak dalam sikap dan tindakan anak remaja. Individu tidak mampu berusaha keras menghadapi tantangan atau masalah.
- Mudah dipengaruhi orang lain. Gagasan dan perlakuannya kerap berubah mengikuti orang yang banyak bergaul dengannya, seringkali individu dimanipulasi orang yang berkepribadian kuat.
- Menunjukkan deretan emosi dan perasaan yang sempit.
- Remaja dengan harga diri rendah ini sering menunjukkan beberapa emosi yang khas seperti tidak sopan, keras kepala, histeria.
- Menghindari situasi yang menimbulkan kecemasan.
- Menjadi defensif dan mudah frustasi. Individu akan mudah tersinggung, tidak mampu menerima kritik atau perintah yang tidak diduga dan selalu mempunyai dalih mengapa individu tidak dapat melaksanakannya.
- Menyalahkan orang lain karena kelemahan sendiri. Individu kerap kali menyalahkan orang lain atau keadaan yang tidak menguntungkan sebagai penyebab kesulitannya.
Orang yang memandang rendah dirinya sendiri kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri, sering memilih tujuan yang kurang realistis atau bahkkan tidak memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan, mengingat masa lalu secara negatif, berkubang dalam perasaan negatif, punya reaksi emosional dan behavioral yang lebih buruk dalam merespon tanggapan negatif dari orang lain, kurang mampu memunculkan feedback positif terhadap dirinya sendiri, lebih memerhatikan dampak sosial mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah terkena depresi atau berpikir terlalu mendalam saat mereka menghadapi stress atau kekalahan.
Butler, Hokanson, & Flynn berpendapat bahwa harga diri yang rendah akan berpengaruh negatif pada individu yang bersangkutan dan mengakibatkan individu tersebut akan menjadi stress dan depresi. Selain itu, menurut Coopersmith orang yang memiliki harga diri rendah senantiasa mudah mengalami kecemasan, tidak bahagia, selalu putus asa, tidak percaya diri. Lebih dari itu orang yang memiliki penghargaan diri rendah mudah dihinggapi rasa takut, seperti perasaan tidak diterima dan selalu merasa dibenci, selalu merasa gagal, terlalu takut menghadapi kelemahan dan kekurangan dirinya, sangat peka terhadap kritik dan mudah tersinggung, serta cenderung menarik diri dalam pergaulannya.
b. Keterampilan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterampilan berarti kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Jadi, keterampilan sosial adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan sosial atau kemasyarakatan. Atau bisa juga diartikan sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Gresham dan Reschly mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain:
• Perilaku Interpersonal
Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.
• Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri
Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.
• Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis
Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.
• Penerimaan Teman Sebaya
Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah memberi dan menerima informasi, dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.
• Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif.
Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial adalah orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik,
serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya.
Dalam kaitannya dengan keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, keterampilan sosial yang “terlambat” adalah salah satu karakteristiknya. Terlambat di sini berarti, tingkat keterampilan sosial yang ia miliki saat itu, seharusnya sudah ia miliki sebelumnya, atau dengan kata lain tingkat keterampilan sosialnya saat itu setara dengan individu lain yang apabila dilihat dari segi usia terpaut jauh dengannya, yakni lebih muda darinya.
c. Isyarat Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isyarat adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai tanda atau alamat. Jadi, isyarat sosial adalah sesuatu yang dipakai sebagai tanda dalam lingkup sosial. Dalam kaitannya dengan keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, anak dikatakan mengalami keterlambatan apabila ia mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial.
Siswa yang secara khusus mengalami kesulitan yang berat dapat diidentifikasi mengidap keterbelakangan mental (mental retardation), yaitu hambatan yang ditandai dengan inteligensi umum di bawah rata-rata dan kurangnya perilaku adaptif. Di mana perilaku adaptif sendiri bermakna perilaku yang berkaitan dengan keterampilan hidup sehari-hari dan perilaku yang sesuai dalam situasi sosial, digunakan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi siswa yang mengalami keterbelakangan mental.
Siswa yang mengalami keterbelangan mental memperlihatkan keterlambatkan yang signifikan di sebagian besar aspek perkembangan kognitif dan sosialnya. Secara lebih khusus, mereka memperlihatkan karakteristk-karakteristik berikut ini:
• Inteligensi umum berada di bawah rata-rata. Siswa seperti ini memiliki skor tes inteligensi yang cukup rendah, selain itu siswa-siswa ini belajar secara lambat dan secara konsisten menunjukkan prestasi yang rendah di semua mata pelajaran.
• Perilaku adaptif lemah. Siswa yang mengalami keterbelakangan mental berperilaku seperti anak-anak. Kurangnya perilaku adaptif ini mencakup keterbatasan dalam inteligensi praktis, yakni mengelola aktivitas-aktivitas biasa sehari-hari, serta inteligensi sosial, yakni bertingkahlaku secara tepat dalam berbagai situasi sosial.
Keterbelakangan mental seringkali disebabkan oleh kondisi genetik. Sebagai contoh, sebagian besar anak-anak yang mengalami down syndrome mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif. Dalam kasus-kasus lain, penyebabnya adalah faktor-faktor biologis tetapi tidak ditrunkan (noninherited), seperti kekurangan gizi atau konsumsi alkohol secara berlebihan selama kehamilan atau kekurangan oksigen dalam proses kelahiran yang sulit. Selain itu, dalam situasi-situasi lain, faktor lingkungan, seperti diabaikan oleh orang tua, lingkungan rumah yang sangat miskin dan kurang memberikan stimulasi, dapat menjadi penyebab keterbelakangan mental.
Di samping itu, beberapa siswa yang mengalami keterbelangan mental yang mengikuti kelas pendidikan, cenderung memperlihatkan beberapa karakterisik berikut ini:
• Hasrat yang tulus untuk menjadi bagian dari sekolah dan merasa cocok berada di sekolah
• Kurangnya pengetahuan umum mengenai dunia
• Keterampilan membaca dan berbahasa yang buruk
• Kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki strategi-strategi belajar dan strategi memori yang efektif
• Kesulitan melengkapi detil-detil ketika instruksi yang diberikan tidak lengkap atau ambigu
• Kesulitan memahami gagasan abstrak
• Kesulitan menggeneralisasi sesuatu yang dipelajari dalam suatu situasi ke situasi baru
• Keterampilan motorik yang rendah
• Perilaku bermain dan keterampilan interpesonal yang tidak matang
2. Strategi Pengajaran
Ada beberapa strategi yang berguna untuk siswa-siswa yang mengalami keterbelakangan mental, antara lain:
Memberikan instruksi secara perlahan-lahan untuk memastikan mereka dapat mengikuti materi yang disampaikan. Ketika sedang menangani siswa yang mengalami keterbelangan mental, peralihan ke topik atau tugas baru seharusnya dilakukan secara perlahan-lahan dan jangan bosan membuat pengulangan-pengulangan sehingga memberi mereka kesempatan untuk menguasai materi yang diajarkan. Siswa yang mengalami keterbelakangan mental biasanya memiliki sejarah kegagalan yang panjang dalam mengerjakan tugas-tugas akademik. Karena itu, mereka membutuhkan pengalaman berhasil yang sering untuk belajar bahwa dengan bekerja keras, mereka dapat berhasil di sekolah.
Menjelaskan tugas-tugas secara konkret, spesifik dan lengkap. Apabila kita hanya mengatakan kepada seorang siswa yang mengalami keterbelakangan mental “letakkan lembaran absen ini di kantor kepala sekolah”, ada kemungkinan siswa tersebut tidak kembali lagi ke kelas setelah melaksanakan perintah itu. Karena itu, sebaiknya mengatakan, “Budi, pergilah ke kantor kepala sekolah, berikan lembaran absen ini kepada Bu Eva, lalu kembalilah ke sini”.
Menggunakan scaffolding yang memadai untuk mendorong perhatian dan proses-proses kognitif efektif yang lain. Karena siswa yang mengalami keterbelakangan mental kerap kurang menyadari cara terbaik untuk belajar dan mengingat informasi baru, kita perlu memberikan bimbingan yang eksplisit mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan (secara mental) ketika belajar. Sebagai contoh, kita dapat menggunakan frase seperti “lihatlah” atau “dengarkan” untuk membantu mereka memusatkan perhatian. Kita juga dapat mengajari mereka beberapa strategi mengingat yang sederhana dan konkret, seperti mengulang-ulang sendiri instruksi yang telah didapatkan. Kita juga dapat memeberikan pedoman belajar yang sederhana yang dapat memberikan petunjuk spesifik mengenai hal-hal yang harus diperhatikan saat belajar.
Memasukkan keterampilan kejuruan dan keterampilan hidup yang umum ke dalam kurikulum. Bagi sebagian besar siswa yang mengalami keterbelakangan mental, salah satu bagian penting dari kurikulum sekolah menengah atas adalah melatih keterampilan hidup yang umum dan keterampilan kerja. Pelatihan-pelatihan semacam itu paling mungkin efektif apabila dilakukan dalam setting yang realistis, yang semirip mungkin dengan setting yang akan mereka alami setelah lulus nanti.
0 komentar:
Posting Komentar