1. Gaya Kepemimpinan Utsman bin Affan
Dalam masa kepemimpinannya, Utsman menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai pijakan kemudian apa saja yang telah digariskan dan diwariskan oleh dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan Umar. Ini pulalah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani, “Ikutilah dua orang sepeninggalanku,” seraya menunjuk Abu Bakar dan Umar.
Metode kepemimpinannya ini juga sudah beliau sampaikan di awal khutbah kepemimpinan, yaitu dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman kemudian petunjuk dua khalifah yang mendahuluinya.
Dari sekian banyak corak kepemimpinan Utsman bin Affan ialah perhatian terhadap keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Keadaan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan antara diri seorang hamba dengan Rabb-nya dengan selalu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan-Nya dan tidak melampauinya. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan lurus dan kejayaan akan dapat dengan mudah digapai. Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam meriwayatkan, dari ayahnya ia berkata, “Aku mendengar Utsman bin Affan menyampaikan khutbah di hadapan orang-orang. Beliau berkata, ‘Jauhilah khamr oleh kalian. Sebab, khamr merupakan porosnya segala kejelekan…’ Pada akhirnya beliau berkata, ‘Jauhilah khamr. Demi Allah, iman dan candu khamr tidak akan pernah bersatu dalam diri seseorang.”
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aku menyaksikan Utsman dalam khutbahnya menyuruh agar anjing dapat dibunuh dan merpati dapat disembelih.” Sementara itu Zubaid bin Ash-Shalt mengatakan, “Aku mendengar Utsman berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, jauhilah perjudian (dadu). Sebab ada yang mengabariku bahwa ada dadu di rumah beberapa orang di antara kalian. Oleh sebab itu, apabila ada dadu di rumahnya hendaklah ia menghancurkannya”.
Di lain kesempatan Utsman juga berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku sudah mengajak kalian bicara tentang dadu ini. Namun aku tidak melihat kalian membuangnya. Sungguh aku sudah berkeinginan agar kayu-kayu bakar itu dikumpulkan lantas kukirimkan ke rumah-rumah yang menyimpan dadu sehingga aku membakarnya di hadapan mereka”.
Selain itu, Utsman juga sangat memperhatikan aktivitas jual beli. Salah satunya mengenai harga barang-barang di pasaran. Sebab, harga kerap kali menjadi keluhan masyarakat. Semakin tinggi harga kebutuhan di masyarakat, maka asumsi kemiskinan semakin bertambah akan semakin nampak jelas. Yang miskin bertambah miskin, sementara yang kaya lambat laun berubah miskin. Demikian teori yang dinyatakan sebagian pakar. Oleh sebab itu, tolok ukur harga hendaknya diberikan sepenuhnya pada pemerintah yang sah agar orang-orang di pasar tidak sembarangan menentukan harga dagangannya yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam riwayat lain yang dinukil dari Thabaqat Ibnu Sa’d, selain menanyakan harga-harga di pasaran, Utsman juga menanyakan tentang orang-orang yang tengah tergeletak sakit.
Abu Masyja’ah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi orang sakit bersama Utsman. Ia pun berkata pada orang yang sakit itu, ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Maka orang yang sakit itu mengucapkannya. Utsman berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah melemparkan seluruh kesalahannya denga kalimat itu sehingga kesalahan-kesalahannya itupun hancur lebur.’ Aku bertanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau katakan? Atau engkau pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ Utsman menjawab, ‘Bahkan aku telah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, hal semacam ini keutamaan untuk orang yang sakit, lalu bagaimana untuk orang yang sehat?’ Beliau menjawab, ‘Untuk orang yang sehat lebih bisa lagi meleburkan kesalahan.”
Jika ditelusuri lebih dekat lagi bagaimana perhatian besar Utsman terhadap rakyat yang dipimpinnya, tentu akan lebih sangat menakjubkan. Sebuah sikap yang patut diteladani setiap orang yang bertindak memimpin suatu negeri. Perhatiannya itu beliau tunjukkan dalam banyak kesempatan. Baik melalui surat-surat yang sampai padanya maupun dengan cara bertanya langsung kepada tamu-tamu Allah di musim haji. Selain itu beliau juga kerap menghubungi kepala-kepala daerah yang ditugaskannya untuk menanyakan keadaan rakyat. Beliau bahkan dengan sendiri mencari tahu harga-harga barang di pasaran. Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidullah menceritakan, “Aku melihat Utsman bin Affan beserta seorang penyeru. Beliau mengajak orang-orang berbicara dan bertanya dan mencari tahu dari mereka tentang harga-harga dan berita-berita.” Dalam kesempatan itulah Utsman mencari tahu tentang kebutuhan apa sajakah yang masih kurang di tengah rakyat yang dipimpinnya. Maka jika ia mengetahui tentang kebutuhan yang diperlukan rakyat, ia akan segera memenuhi kubutahan tersebut. Salah satu yang sering ia lakukan adalah memberikan biaya orang yang tengah melahirkan beserta nafkah untuk bayinya yang diambilnya dari baitul maal.
Ibnu Katsir menceritakan bahwa suatu saat Utsman merasa kehilangan wanita yang biasa membantunya. Beliau diberi tahu bahwa ternyata wanita tersebut tengah melahirkan bayi. Maka beliau pun mengirimkan 50 dirham dan kain dari Sunbulani. Utsman berkata, “Pemberian dan pakaian ini untuk anakmu. Apabila dia sudah berusia setahun, kami akan menambahnya menjadi 100.”
Demikian juga di antara kegiatan Utsman demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dengan penuh kesejahteraan ialah memberikan arahan pada orang-orang yang diberinya tugas memimpin suatu daerah tertentu. Hal tersebut beliau sampaikan dalam bentuk tulisan (surat) yang dikirimkan kepada setiap orang yang bertanggung jawab atas daerah-daerah yang dipimpinnya. Dalam surat tersebut, Utsman mengingatkan kewajiban mereka terhadap rakyat. Beliau mengatakan bahwa tugas mereka bukanlah mengumpulkan harta zakat, namun lebih kepada kepentingan serta kemaslahatan masyarakat umum. Oleh karena itu beliau menyebutkan langkah-langkah politik yang baik, yaitu dengan memberikan hak masyarakat sepenuhnya dengan tetap mengambil kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Dengan demikian, keadaan masyarakat akan menjadi stabil. Namun jika sebaliknya, perhatian pemimpin hanya berpusat pada penarikan zakat dari masyarakat, berarti sudah tidak ada lagi rasa malu pada diri mereka, amanah menjadi terlantarkan, dan tidak ada lagi sikap menunaikan janji.
Sementara itu, beliau juga mengirim surat pada para panglima perang beserta pasukannya. Isinya pun berupa arahan dan petunjuk bagaimana menjadi panglima yang baik dan apa saja tugas yang semestinya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Beliau menulis, “Amma ba’d… Sesungguhnya kalian adalah penjaga kaum muslimin dan pembela mereka. Umar telah menggariskan tugas untuk kalian yang masih kami ingat, bahkan beliau sampaikan di hadapan para pembesar kita. Oleh karena itu jangan sampai aku dengar dari salah seorang kalian ada yang mengubah dan menggantinya, sehingga Allah akan mengubahnya dengan kalian dan menjadikan orang lain menggantikan posisi kalian. Maka perhatikanlah masa depan kalian, aku pun akan memperhatikan apa saja yang telah Allah wajibkan atas diriku tentang apa saja yang semestinya kuperhatikan dan apa yang seharusnya kulakukan.”
Begitu pula surat edaran yang beliau tulis untuk masyarakat umum. Isinya pun berupa arahan dan anjuran bagaimana sebaiknya menjadi rakyat yang baik. Surat tersebut, antara lain menekankan agar umat selalu berada di dalam koridor agama yang dibangun berdasarkan ittiba’ (mencontoh dan meneladani Rasulullah SAW) dan agar tidak memberatkan diri serta melakukan perkara-perkara yang dibuat-buat (bid’ah).
Begitulah ustman senantiasa mengingatkan sikap hidup sederhana dan menghindarkan diri dari godaan duniawi, akan tetapi dia sendiri tidak berkemampuan memaksakan kebijakan yang digariskannya itu dengan tegas dan keras seperti khalifah Abu Bakar dan Umar. Selain itu Ustman juga terlalu mengutamakan keluarganya dari Bani Umayyah. Misalnya, ia mengangkat beberapa orang dari Bani Umayyah menjadi gubernur di beberapa wilayah. Sehingga, seringkali sifatnya yang lemah lembut dan dermawan ini dimanfaatkan oleh Bani Umayyah untuk mendapatkan keuntungan.
2. Keberhasilan-keberhasilan yang Dicapai Pemerintahan Utsman bin Affan
Keberhasilan yang dicapai Utsman bin Affan ketika menduduki jabatan khalifah ke-tiga selama 13 tahun, di antaranya:
a. Perluasan Wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh, dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
b. Perluasan Masjid di Tanah Suci
Keberhasilan lain yang dicapai pemerintahan Khalif Utsman ialah pemikiran dan pelaksanaan perluasan Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawwarah dan Masjidil Haram di Makkah Al-Karramah.
Dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam serta makin ramainya kelompok-kelompok masyarakat yang memeluk agama Islam, maka pada setiap Musim Haji ramailah rombongan-rombongan jamaah ke Tanah Suci.
Masjid Nabawi di Madinah maupun Masjidil Haram di Makkah hanya berukuran 100 hasta x 100 hasta. Di sekitarnya berdiri rumah-rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk dengan lorong-lorong sempit. Jangankan pada Musim Haji, bahkan bagi kebutuhan kebaktian sehari-hari sudah dirasakan kedua Masjid di Tanah Suci itu sangat sempit. Oleh karena itu, timbulah pemikiran dan pelaksanaan perluasan di kedua Masjid di Tanah Suci tersebut.
c. Pengkodifikasian Al-Qur’an (Mushhaf Ustmani)
Jasa teramat besar dari Khalif Utsman, yakni bagi kepentingan agama, ialah penaskahan Kitab Suci Al-Qur’an. Dengan begitu terhindarlah untuk abad-abad selanjutnya, kemungkinan pemalsuan suatu kata atau kalimat maupun ayat dari Al-Qur’an tersebut. Dengan jasa Khalif Utsman itu terpenuhilah janji Allah SWT dalam QS. Al-Hijr: 9, yang artinya: “Kami menurunkan Al-Zikra itu, dan sungguh Kami pula yang memeliharanya.”
Alasan Khalif Utsman melakukan pengkodifikasian Al-Qur’an ini, yakni karena penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehingga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai pada mereka. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan satu sama lain. Mengetahui hal ini Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya, “Kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf.” Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushhaf yang lain dibakar. Al-Mushhaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman sendiri dan mushhaf ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal dengan mushhaf Ustmani.
d. Otonomi Daerah
Pada zaman khalifah Abu Bakar dan Umar, wilayah dibedakan menjadi dua, yakni wilayah yang pemimpinnya memiliki otonomi penuh dan pemimpinnya disebut amir serta wilayah yang tidak memiliki otonomi penuh yang pemimpinnya disebut wali.
Dalam masa kepemimpinannya, Utsman menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai pijakan kemudian apa saja yang telah digariskan dan diwariskan oleh dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan Umar. Ini pulalah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani, “Ikutilah dua orang sepeninggalanku,” seraya menunjuk Abu Bakar dan Umar.
Metode kepemimpinannya ini juga sudah beliau sampaikan di awal khutbah kepemimpinan, yaitu dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman kemudian petunjuk dua khalifah yang mendahuluinya.
Dari sekian banyak corak kepemimpinan Utsman bin Affan ialah perhatian terhadap keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Keadaan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan antara diri seorang hamba dengan Rabb-nya dengan selalu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan-Nya dan tidak melampauinya. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan lurus dan kejayaan akan dapat dengan mudah digapai. Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam meriwayatkan, dari ayahnya ia berkata, “Aku mendengar Utsman bin Affan menyampaikan khutbah di hadapan orang-orang. Beliau berkata, ‘Jauhilah khamr oleh kalian. Sebab, khamr merupakan porosnya segala kejelekan…’ Pada akhirnya beliau berkata, ‘Jauhilah khamr. Demi Allah, iman dan candu khamr tidak akan pernah bersatu dalam diri seseorang.”
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aku menyaksikan Utsman dalam khutbahnya menyuruh agar anjing dapat dibunuh dan merpati dapat disembelih.” Sementara itu Zubaid bin Ash-Shalt mengatakan, “Aku mendengar Utsman berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, jauhilah perjudian (dadu). Sebab ada yang mengabariku bahwa ada dadu di rumah beberapa orang di antara kalian. Oleh sebab itu, apabila ada dadu di rumahnya hendaklah ia menghancurkannya”.
Di lain kesempatan Utsman juga berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku sudah mengajak kalian bicara tentang dadu ini. Namun aku tidak melihat kalian membuangnya. Sungguh aku sudah berkeinginan agar kayu-kayu bakar itu dikumpulkan lantas kukirimkan ke rumah-rumah yang menyimpan dadu sehingga aku membakarnya di hadapan mereka”.
Selain itu, Utsman juga sangat memperhatikan aktivitas jual beli. Salah satunya mengenai harga barang-barang di pasaran. Sebab, harga kerap kali menjadi keluhan masyarakat. Semakin tinggi harga kebutuhan di masyarakat, maka asumsi kemiskinan semakin bertambah akan semakin nampak jelas. Yang miskin bertambah miskin, sementara yang kaya lambat laun berubah miskin. Demikian teori yang dinyatakan sebagian pakar. Oleh sebab itu, tolok ukur harga hendaknya diberikan sepenuhnya pada pemerintah yang sah agar orang-orang di pasar tidak sembarangan menentukan harga dagangannya yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam riwayat lain yang dinukil dari Thabaqat Ibnu Sa’d, selain menanyakan harga-harga di pasaran, Utsman juga menanyakan tentang orang-orang yang tengah tergeletak sakit.
Abu Masyja’ah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi orang sakit bersama Utsman. Ia pun berkata pada orang yang sakit itu, ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Maka orang yang sakit itu mengucapkannya. Utsman berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah melemparkan seluruh kesalahannya denga kalimat itu sehingga kesalahan-kesalahannya itupun hancur lebur.’ Aku bertanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau katakan? Atau engkau pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ Utsman menjawab, ‘Bahkan aku telah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, hal semacam ini keutamaan untuk orang yang sakit, lalu bagaimana untuk orang yang sehat?’ Beliau menjawab, ‘Untuk orang yang sehat lebih bisa lagi meleburkan kesalahan.”
Jika ditelusuri lebih dekat lagi bagaimana perhatian besar Utsman terhadap rakyat yang dipimpinnya, tentu akan lebih sangat menakjubkan. Sebuah sikap yang patut diteladani setiap orang yang bertindak memimpin suatu negeri. Perhatiannya itu beliau tunjukkan dalam banyak kesempatan. Baik melalui surat-surat yang sampai padanya maupun dengan cara bertanya langsung kepada tamu-tamu Allah di musim haji. Selain itu beliau juga kerap menghubungi kepala-kepala daerah yang ditugaskannya untuk menanyakan keadaan rakyat. Beliau bahkan dengan sendiri mencari tahu harga-harga barang di pasaran. Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidullah menceritakan, “Aku melihat Utsman bin Affan beserta seorang penyeru. Beliau mengajak orang-orang berbicara dan bertanya dan mencari tahu dari mereka tentang harga-harga dan berita-berita.” Dalam kesempatan itulah Utsman mencari tahu tentang kebutuhan apa sajakah yang masih kurang di tengah rakyat yang dipimpinnya. Maka jika ia mengetahui tentang kebutuhan yang diperlukan rakyat, ia akan segera memenuhi kubutahan tersebut. Salah satu yang sering ia lakukan adalah memberikan biaya orang yang tengah melahirkan beserta nafkah untuk bayinya yang diambilnya dari baitul maal.
Ibnu Katsir menceritakan bahwa suatu saat Utsman merasa kehilangan wanita yang biasa membantunya. Beliau diberi tahu bahwa ternyata wanita tersebut tengah melahirkan bayi. Maka beliau pun mengirimkan 50 dirham dan kain dari Sunbulani. Utsman berkata, “Pemberian dan pakaian ini untuk anakmu. Apabila dia sudah berusia setahun, kami akan menambahnya menjadi 100.”
Demikian juga di antara kegiatan Utsman demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dengan penuh kesejahteraan ialah memberikan arahan pada orang-orang yang diberinya tugas memimpin suatu daerah tertentu. Hal tersebut beliau sampaikan dalam bentuk tulisan (surat) yang dikirimkan kepada setiap orang yang bertanggung jawab atas daerah-daerah yang dipimpinnya. Dalam surat tersebut, Utsman mengingatkan kewajiban mereka terhadap rakyat. Beliau mengatakan bahwa tugas mereka bukanlah mengumpulkan harta zakat, namun lebih kepada kepentingan serta kemaslahatan masyarakat umum. Oleh karena itu beliau menyebutkan langkah-langkah politik yang baik, yaitu dengan memberikan hak masyarakat sepenuhnya dengan tetap mengambil kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Dengan demikian, keadaan masyarakat akan menjadi stabil. Namun jika sebaliknya, perhatian pemimpin hanya berpusat pada penarikan zakat dari masyarakat, berarti sudah tidak ada lagi rasa malu pada diri mereka, amanah menjadi terlantarkan, dan tidak ada lagi sikap menunaikan janji.
Sementara itu, beliau juga mengirim surat pada para panglima perang beserta pasukannya. Isinya pun berupa arahan dan petunjuk bagaimana menjadi panglima yang baik dan apa saja tugas yang semestinya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Beliau menulis, “Amma ba’d… Sesungguhnya kalian adalah penjaga kaum muslimin dan pembela mereka. Umar telah menggariskan tugas untuk kalian yang masih kami ingat, bahkan beliau sampaikan di hadapan para pembesar kita. Oleh karena itu jangan sampai aku dengar dari salah seorang kalian ada yang mengubah dan menggantinya, sehingga Allah akan mengubahnya dengan kalian dan menjadikan orang lain menggantikan posisi kalian. Maka perhatikanlah masa depan kalian, aku pun akan memperhatikan apa saja yang telah Allah wajibkan atas diriku tentang apa saja yang semestinya kuperhatikan dan apa yang seharusnya kulakukan.”
Begitu pula surat edaran yang beliau tulis untuk masyarakat umum. Isinya pun berupa arahan dan anjuran bagaimana sebaiknya menjadi rakyat yang baik. Surat tersebut, antara lain menekankan agar umat selalu berada di dalam koridor agama yang dibangun berdasarkan ittiba’ (mencontoh dan meneladani Rasulullah SAW) dan agar tidak memberatkan diri serta melakukan perkara-perkara yang dibuat-buat (bid’ah).
Begitulah ustman senantiasa mengingatkan sikap hidup sederhana dan menghindarkan diri dari godaan duniawi, akan tetapi dia sendiri tidak berkemampuan memaksakan kebijakan yang digariskannya itu dengan tegas dan keras seperti khalifah Abu Bakar dan Umar. Selain itu Ustman juga terlalu mengutamakan keluarganya dari Bani Umayyah. Misalnya, ia mengangkat beberapa orang dari Bani Umayyah menjadi gubernur di beberapa wilayah. Sehingga, seringkali sifatnya yang lemah lembut dan dermawan ini dimanfaatkan oleh Bani Umayyah untuk mendapatkan keuntungan.
2. Keberhasilan-keberhasilan yang Dicapai Pemerintahan Utsman bin Affan
Keberhasilan yang dicapai Utsman bin Affan ketika menduduki jabatan khalifah ke-tiga selama 13 tahun, di antaranya:
a. Perluasan Wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh, dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
b. Perluasan Masjid di Tanah Suci
Keberhasilan lain yang dicapai pemerintahan Khalif Utsman ialah pemikiran dan pelaksanaan perluasan Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawwarah dan Masjidil Haram di Makkah Al-Karramah.
Dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam serta makin ramainya kelompok-kelompok masyarakat yang memeluk agama Islam, maka pada setiap Musim Haji ramailah rombongan-rombongan jamaah ke Tanah Suci.
Masjid Nabawi di Madinah maupun Masjidil Haram di Makkah hanya berukuran 100 hasta x 100 hasta. Di sekitarnya berdiri rumah-rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk dengan lorong-lorong sempit. Jangankan pada Musim Haji, bahkan bagi kebutuhan kebaktian sehari-hari sudah dirasakan kedua Masjid di Tanah Suci itu sangat sempit. Oleh karena itu, timbulah pemikiran dan pelaksanaan perluasan di kedua Masjid di Tanah Suci tersebut.
c. Pengkodifikasian Al-Qur’an (Mushhaf Ustmani)
Jasa teramat besar dari Khalif Utsman, yakni bagi kepentingan agama, ialah penaskahan Kitab Suci Al-Qur’an. Dengan begitu terhindarlah untuk abad-abad selanjutnya, kemungkinan pemalsuan suatu kata atau kalimat maupun ayat dari Al-Qur’an tersebut. Dengan jasa Khalif Utsman itu terpenuhilah janji Allah SWT dalam QS. Al-Hijr: 9, yang artinya: “Kami menurunkan Al-Zikra itu, dan sungguh Kami pula yang memeliharanya.”
Alasan Khalif Utsman melakukan pengkodifikasian Al-Qur’an ini, yakni karena penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehingga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai pada mereka. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan satu sama lain. Mengetahui hal ini Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya, “Kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf.” Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushhaf yang lain dibakar. Al-Mushhaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman sendiri dan mushhaf ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal dengan mushhaf Ustmani.
d. Otonomi Daerah
Pada zaman khalifah Abu Bakar dan Umar, wilayah dibedakan menjadi dua, yakni wilayah yang pemimpinnya memiliki otonomi penuh dan pemimpinnya disebut amir serta wilayah yang tidak memiliki otonomi penuh yang pemimpinnya disebut wali.
0 komentar:
Posting Komentar