Rabu, 19 Oktober 2016

IMPLEMENTASI SYARIAH


BAB 2
PEMBAHASAN
A.    IJTIHAD
1.    PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari kata ijtihada ( (اجتھدartinya ialah bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedangkan apabila meneliti dari ma’na kata ja-hada, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi, menurut bahasa, ijtihad adalah berupaya atau berusaha yang sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan. Saiyid Muhammad Al-Khudloriy (dalam kitabnya “Ushulul Fiqh” hal. 367) demikian pula Dr. Wahbah Az-Zahiliy (dalam kitabnya “Al-Wasith fi Ushulilfiqhil Islamiy” hal. 590) memberikan contoh: اجتھد فی حمل حجر الرّحا (Dia berusaha keras membawa batu guling), dan tidak akan dikatakan: اجتھد فی حمل خردلۃ (berusaha sungguh-sungguh membawa sebiji-bijian).
Kemudian dikalangan para ‘ulama’ perkataan ini khusus digerakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Dengan demikian, ijtihad ialah perbuatan-perbuatan istinbath hukum syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at.
Imam Al-Ghozaliy yang diikuti juga oleh Khudloriy mendefinisikan ijtihad dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh dalam rangka mengetahui/menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Ada pula yang mengatakan, ijtihad ialah qiyas, tetapi oleh Imam Al-Ghozaliy (dalam kitab Al-Mustashfa) pendapat itu tidak disetujuinya, menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuman dan lafadzh-lafadzh yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’iy sendiri menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu adalah ijtihad (dalam kitab “ar-Risalah” hal. 477).

2.    KEDUDUKAN IJTIHAD
Ketetapan adanya ijtihad merupakan pokok syari’at, dapat diketahui baik dengan isyarat ataupun dengan jelas-jelas di dalam ajaran-ajaran agama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa ayat 105 dan QS. Ar-Ra’du ayat 3) dan As-Sunnah membolehkan melakukan ijtihad.
As-Syaikh Muhammad Khudloriy (dalam kitabnya “Ushulul Fiqh” hal. 368), mengemukakan hukum-hukum ijtihad sebagai berikut:
a.    Wajib ‘ainiy, yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan suatu peristiwa, dan peristiwa itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia sendiripun juga mengetahui hukumnya.
b.    Wajib kifa-iy, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid lain. Apabila salah seorang mujtahid saja sudah menyelesaikan soal itu, atau sudah ada seorang saja yang berijtihad menyelesaikan soal tersebut, kewajiban tersebut sudah gugur atas yang lain-lain. Artinya, ijtihad satu orang tersebut sudah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Tetapi apabila tidak seorangpun yang melakukan ijtihad dari kalangan mujtahidin, mereka semua berdosa.
c.    Sunnat (annabdu), yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan atau tidak. Di dalam hal ini lebih-lebih apabila yang dikemukakan itu tidak pernah terjadi.

3.    MACAM-MACAM IJTIHAD
Dr. Ad-Duwa-li bi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah membagi macam-macam ijtihad menjadi tiga macam:
a.    Al-Ijtihadul bayaniy, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syar’iyah dari nash-nash syari’ (yang memberikan syari’at yang menentukan syari’at).
b.    Al-Ijtihadul qiyasiy, yaitu melakukan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah untuk kejadian-kejadian/peritiwa-peristiwa yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hukum syar’i.
c.    Al-Ijtihadul ishthishlahiy, inipun juga meletakan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah, untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan mempergunakan ar-ro’yu yang disandarkan atas ishthishlah.
Tetapi pembagian ini dikritik oleh Ustadz Muhammad Taqiyyulhakim dengan mengatakan, pembagian itu menurut logika tidak meliputi segala macam tentang yang ada, sebab tidak mencakup ijtihad istihsaniy dan lain-lain yang menjadi pegangan para fuqoha’, bahkan sebagian mereka berpendapat bahwa pembagian tersebut mencapai jumlah kepada 19 macam, sebagaimana disebut oleh Ath-Thufiy di dalam risalahnya, yang diikuti juga oleh Jamaluddin Al-Qosimiy kepada empat puluh dalil lebih. Dan disamping itu qiyas itu sendiri tidak keseluruhannya selalu menjadi bagian dari ijtihad bayaniy. Demikian pula membedakan antara jalan ‘penjelasan’ (bayan) untuk yang pertama, sedang yang kedua dan ketigas dengan ‘meletakkan’ (wadl’an). Ini keluar dari ijma’ kaum muslimin.
Ustadz Hakim membaginya kepada ijtihad ‘aqliyah dan ijtihad syar’iyah, sebagai berikut:
a.    Ijtihad ‘aqliyah ialah apabila hujjah-hujjahnya mantap itu, melulu ‘aqal saja dan tidak menerima untuk dijadikan sebagai syar’iy, yaitu hal-hal yang semata-mata ‘aqliy, aturan-aturan yang biasanya untuk menolak kemadlaratan dan lain-lain.
b.    Ijtihad syar’iyah ialah yang memerlukan kepada menjadikan kehujjahannya itu sebagian dari hujjah-hujjah syar’iy, dan dalam kelompok ini termasuk Ijma’, qiyas, istihsan, istishalah, ‘urf, istishhab dan lain-lain.

4.    MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA
Mujtahid ialah orang yang berijtihad.berbicara tentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid, demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara tentang syarat-syarat mujtahid tidak lain berbicara tentang syarat-syarat ijtihad.
Imam Al-Ghozaliy (dalam kitabnya “Al-Mustashfa” II/hal. 102) menyatakan, menjadi mujtahid harus mempunyai dua syarat:
a.    Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzhon  di dalam hal-hal syar’i, mendahulukan apa yang wajib didahulukan dan membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.
b.    Seorang yang adil, menjauhi segala maksiat yang membuat rusak sifat atau sikap keadilan (‘adalah). Syarat ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang-orang yang tidak mempunyai sifat adil, fatwanya tidak boleh menjadi pegangan. Adapun sifat adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa atau ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi halangan. Artinya di dalam ia bersifat tidak adi itu boleh saja berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.
Asy-Syatibiy (dalam kitab “Al-Muwafaqot” IV/hal. 105-106) menyatakan seorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila memiliki dua syarat:
a.    Mengerti dan faham akan tujuan-tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sesempurnanya, secara keseluruhannya.
b.    Mampu melakukan istinbath berdasarkan faham dan pengertiannya terhadap tujuan-tujuan syari’at tersebut.
Tetapi syarat-syarat yang akan memungkinkan seseorang melakukan ijtihad apabila ia memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a.    Mengetahui apa yang ada pada Allah SWT, mengetahui sifat-sifat wajib Allah SWT, percaya adanya Rosul dan apa yang dibawa oleh Rosul, juga percaya akan mukjizat-mukjizat Rosul. Mengetahui ayat-ayat-NYA yang nyata, sehingga pendapat-pendapat dan hukum yang mujtahid sepakati memang nyata dan benar. Akan tetapi, tidak diisyaratkan bagi mujtahid mengetahui ilmu kalam sampai sedetail-detailnya, juga tidak perlu mahir dalam ilmu kalam. Cukuplah bagi mujtahid mengetahui apakah yang dinamakan iman itu, dan tidak pula harus mengetahui ilmu kalam sampai dalil yang terperinci. Namun, cukuplah mujtahid mengetahui dalil-dalil perkara-perkara dengan global saja, tidak secara mendetail dan terperinci.
b.    Merupakan seorang yang pandai (‘alim), bijaksana (‘arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari’at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang di dalilinya, perbedaan-perbedaan tingakatan-tingakatannya, syarat-syarat yang tepat untuk itu, dan mujtahid harus tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya, tahu cara mengembangkan hasilnya dan mampu pula membebaskan maupun menetapkan serta tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya.
c.    Mengetahui nasikh dan mansukh, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, agar mujtahid tidak keliru berpegang kepada yang mansukh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasikhnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya itu batal, dalam hal ini cukuplah mujtahid melihat kepada kitab-kitab yang terkenal dalam bidang ini, contoh; kitab Ibnu Khuzaimah, kitab Abu Ja’far An-Nahhas, kitab Ibnu Jauziy, kitab Al-Hazimiy, kitab Ibnu Hazmin dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidak diisyaratkan bagi mujtahid mengetahui keseluruhan ayat nasikh dan ayat mansukh dan tidak pula harus menghafalnya. Cukuplah bagi mujtahid pada segala hal yang mujtahid fatwakan itu memang berdasarkan ayat hukum atau hadits hukum yang memang berlaku.
d.    Mengetahui masalah-masalah ijma’ dan kedudukan-kedudukannya, sehingga ia tidak akan memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma’. Namun, bukan berarti ia harus hafal seluruh masalah ijma’ dan apa yang bertentangan dengan ijma’, dalam hal ini cukuplah apa yang ia fatwakan itu sesuai dengan madzhab dari madzhab-madzhab ulama, atau menurut dugaanya peristiwa itu terjadi disuatu masa yang ahlul ijma’ tidak memperbincangkannya, dan mungkin pula bersandar kepada kitab tingkatan-tingkatan ijma’.
e.    Mengetahui segi-segi dan syarat-syarat qiyas yang mu’tabaroh, demikian pula ‘illat-‘illat hukum serta jalan istinbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari’at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu qo’idah ijtihad, dan di dalamnya banyak berdiri hukum-hukum tafsili (terperinci).
f.    Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Ma’aniy, Bayan dan Uslub-uslub, sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah berabahasa Arab, karena itu tidak mungkin seseorang melakukan istinbath hukum kecuali dengan faham bahasa Arab. Baik kata perkata maupun secara tersusun, diantaranya juga mengetahui hukum umum dan hukum khusus, hakikat dan majaz, ithlaq dan taqyid, hukum petunjuk kata-kata dan lainnya.
g.    Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, sebab ilmu ini merupakan tiang dan asas yang diatasnya berdiri tegak rukun-rukun bangunannya, sebab dalil tafsili menunjukkan kepada hukum dengan perantaraan cara yang tertentu, seperti apakah sesuatu itu perintah, larangan, umum, khusus dan sebagainya.
h.    Memahami tujuan-tujuan syari’at yang umum di dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memfahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini (menjaga kemaslahatan manusia, yaitu dengan cara mengusahakan kemanfaatan bagi manusia dan menolak serta menghindarkan bahaya bagi manusia).

5.    TINGKATAN MUJTAHIDIN
Kemampuan dan minat seseorang terbatas. Sejalan dengan hal itu tingakatan-tingkatan mujtahid adalah:
a.    Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Bahkan justru menjadi pendiri madzhab sebagaimana halnya sebagai keempat Imam tokoh-tokoh Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’iy dan Hanbali.
b.    Mujtahid muntasib, yaitu seorang yang memiliki syarat-syarat untuk berijtihad, akan tetapi ia menggabungkan diri kepada sesuatu madzhab, dengan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh Imam Madzhab itu.
c.    Mujtahid muqoyyad, yaitu orang yang terikat kepada suatu madzhab, sekalipun ia sendiri dapat menilai dalil-dalil atau jalan yang ditempuh oleh Imam Madzhab itu dengan tidak keluar dari madzhab itu.
Para ulama Ushul Fiqh dengan sepakat membagi tingkatan mujtahid sebagai berikut:
a.    Mujtahid mustaqil, yaitu yang wajib mempunayi syarat-syarat yang lengkap seorang mujtahid. Mujtahid inilah yang mengqiyaskan hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, memberikan fatwa dan lain-lainnya. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah seluruh fuqoha sahabat, para fuqoha tabi’in (seperti; Sa’id bin Al-Musaiyab dan Ibrahim An-Yakho’iy), para fuqoha dari golongan mujtahidin (seperti; Ja’far Ash-Shodiq dan ayahnya (Muhammad Al-Baqir), Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad Al-Auza’iy, Al-Laits bin Sa’d, Sufyan Ats-Tsauriy, Abu Tsaur, dan lain-lain)
b.    Mujtahid muntasib, yaitu mereka yang memilih mengikuti pendapat imam tertentu dalam hal pokok, tetapi berbeda di dalam hal furu’, misalnya dikalangan Hanafiy ialah Abu Yusuf dan muridnya (Muhammad bin Al-Hasan dan Zufar), dikalangan Syafi’iy yaitu Al-Muzaniy, sedang dikalangan Al-Maliky ialah Abdur Rochman bin Al-Qosim.
c.    Mujtahid madzhab, yaitu mereka yang mengikuti imam, baik dalam ushul maupun dalam furu’.
d.    Mujtahid murjiih, yaitu mereka yang tidak mengadakan istinbath dan masalah-masalah yang tidak diketahui hukumnya. Mereka sekedar mentarjih pendapat-pendapat yang mereka temukan.

B.    IITTIBA’
1.    PENGERTIAN IITTIBA’
Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, kata kerja (fi’il) nya ialah “ittaba’a”, “yattabi’u”, “ittibaa’an”, “muttabi’un”, yang berarti “menurut” atau “mengikuti”. Dalam Al-Qur’an kata “ittaba’a” juga berarti mengikuti.
Menurut ulama Ushul Fiqh ittiba’ ialah mengikuti atau menurut semua yang diperintahkan, yang dilarang dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW, baik berupa perintah atau larangan.
Para ulama Ushul Fiqh lain mengemukakan definisi yang hampir sama dengan definisi diatas, yaitu; ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang, sedang yang menerima itu mengetahui darimana asal pendapat itu.

2.    MACAM-MACAM IITIBA’
a.    Ittiba’ kepada Allah SWT dan Rasul-Nya
Para ulama sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Artinya:    “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Q.S. Al-A’raf: 2)
Dan firman Allah SWT:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (٤٩) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (٥٠)
Artinya:    “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu dari sebahagian dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Apakah hukum kaum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang yang yakin”. (Q.S. Al-Maidah: 49-50)
Ayat-ayat diatas memerintahkan dengan tegas agar kaum muslimin melaksanakan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti beriman kepada-Nya, mengerjakan sholat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa bulan Ramadhan dan sebagainya. Sedang larangannya seperti larangan mempersekutukan Allah, larangan makkan darah, minum khamr dan sebagainya.
Jika kaum muslimin wajib melaksanakan perintah Allah dan menghentikan larangan Allah, berarti kaum muslimin wajib pula mengikuti Rasul yang telah diutus-Nya, karena beliaulah yang menyampaikan dan menerangkan maksud wahyu Allah (Al-Qur’an). Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
Artinya:    “Dari Abu Hurairah ra. semoga Allah meridhainya, ia berkata, berkata Rasulullah SAW. “Tinggalkanlah aku, jangan tanyakan apa-apa yang telah kutinggal (tidak diterangkan kepada kamu) karena orang-orang sebelum kamu menjadi binasa, tidak lain hanyalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan (pembengkakan mereka terhadap nabi-nabi (yang diutus) kepada mereka). Karena itu apabila aku melarangmu sesuatu maka tinggalkanlah larangan itu”. Pada riwayat lain, “Maka apabila aku melarangmu sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah sesuai dengan kesanggupanmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Perintah dan larangan Rasul ini ada yang berupa menguatkan apa yang telah dinyatakan Al-Qur’an, atau menjelaskannya atau menyebutkan sesuatu yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Seperti perintah berbuat baik yang tersebut dalam Al-Qur’an atau ajaran nikah, kemudian hal ini ditegaskan pula oleh hadits Nabi SAW. Perintah mengerjakan shalat lima waktu disebut dalam Al-Qur’an secara garis besarnya saja, kemudian dijelaskan oleh hadits bagaimana cara-cara mengerjakan shalat itu dan sebagainya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya ini dilaksanakan para sahabat dengan baik di masa Rasulullah SAW masih hidup dan di waktu beliau meninggal dunia. Pada masa Nabi SAW masih hidup para sahabat langsung mengikuti perintah Allah dan Rasul dan menghentikan semua larangannya. Setelah beliau wafat mereka berittiba’ dengan mengikuti semua yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Cara yang dilakukan para sahabat ini dilakukan pula oleh para tabi’in dan generasi berikutnya.
b.    Ittiba’ selain kepada Allah dan Rasul-Nya
Berbeda pendapat para ulama tentang ittiba’ kepada para ulama atau kepada para mujtahid. Ada yang berpendapat membolehkannya dan ada yang berpendapat tidak membolehkannya. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasulullah dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Hal ini terfahami dari perkataan beliau kepada Abu Daud, yaitu:‎‏‎
Artinya:    Berkata Abu Daud, aku mendengar Ahmad berkata: “Ittiba’ itu ialah seorang mengikuti yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya”.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama warasatu anbiyaa’ (ulama sebagai pewaris para nabi). Mereka beralasan dengan firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:    ”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. An-Nahl: 43)
Pada ayat diatas terdapat perkataan “ahludz dzikr” (orang-orang yang mempunyai pengetahuan). Yang dimaksud dengan ahludz dzikr menurut mereka ialah orang-orang yang ahli dalam ilmu Al-Qur’an dan Hadits, bukan pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan semata. Apabila ahludz dzikr ditanya tentang hukum dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ia menjawab: Allah SWT berfirman . . . . . . . . . . .  atau Rasulullah SAW bersabda . . . . . . . . Dan maksudnya ialah demikian, demikian, dan sterusnya. Lalu yang bertanya beramal sesuai dengan yang disampaikan itu benar berasal dari Al-Qur’an dan hadits. Jika demikian halnya tidaklah menjadi persoalan, dan hal ini dibolehkan.
Yang menjadi persoalan ialah jika ahludz dzikr itu menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits terlalu jauh, meyimpang bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip atau asas-asas ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Terhadap ahludz dzikr yang demikian tidak dibolehkan kaum muslimin berittiba’ kepadanya bahkan dan hendaklah bersikap berhati-hati terhadap orang yang berbuat demikian diancam Allah dengan azab.

3.    TUJUAN IITTIBA’
Seorang yang akan melakukan ittiba’ tidak memerlukan syarat-syarat, seperti syarat-syarat yang diperlukan seorang mujtahid. Jika ia tidak sanggup memecahkan suatu persoalan agama ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau orang yang benar-benar mengerti hukum agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Setelah ia menerima jawaban dan ia benar-benar yakin bahwa jawaban itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka hendaklah ia mengamalkannya. Dengan demikian diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan dan pengertian, tanpa diselimuti keragu-raguan sedikitpun.
Berittiba’ tidak harus dilakukan kepada seorang mujtahid (satu mujtahid), tetapi dapat dilakukan kepada beberapa orang mujtahid (banyak mujtahid). Mungkin dalam satu masalah mengikuti mujtahid A, tetapi dalam masalah yang lain mengikuti B dan seterusnya.

C.    TAQLID
1.    PENGERTIAN TAQLID
Kata taqlid تقليد)) berasal dari fi’il madhi تقلد dan قلد yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan erat dengan kata qaladah (قلادة) sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asal katanya, قلادة (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan, dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Jika yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang tadi tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Dari uraian tersebut, maka jelas secara lughawi bila dikatakan, “si A ber-taqlid kepada si B”, berarti si A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa pendapat si B begitu.
Selain itu definisi taqlid juga disampaikan oleh beberapa tokoh, antara lain:
a.    Al-Ghazali yang mendefinisikan taqlid sebagai:
قَبُولُ قَولٍ بِلآ حُجَّةٍ
Menerima ucapan tanpa hujah.
b.    Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Ushul mengemukakan definisi:
التَّقْلِيدُ هُوَالأَخْذُ بِقَولِ غَيرِهِ مِنْ غَيرِ دَلِيلٍ
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
c.    Ibn Subki dalam kitab Jam’ul Juwami’ merumuskan definisi:
التَقْلِيدُأَخْذُالقَولِ مِنْ غَيرِمَعْرِفَةِ دَلِيلٍ
Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
d.    Para ulama ushul fiqh umumnya menetapkan definisi taqlid sebagai berikut:
قَبُولُ قَولِ القَائِلِ وَاَنْتَ لَمْ تَعْلَمْ مِنْ اَيْنَ قَا لَهُ
Penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Jadi menurut ulama ushul fiqh, ada dua hal yang terdapat dalam taqlid, yaitu:
    Menerima atau mengikuti perkataan orang lain.
    Pendapat yang diikuti itu tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadis atau tidak.

Karena pendapat mengenai definisi taqlid sebelumnya dinilai samar atau kurang jelas, Ibn Al-Humman (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran dalam definisi sebelumnya, yakni:
التَّقْلِيدُالعَمَلُ بِقَولِ مَنْ لَيسَ قَولُهُ إِحْدَى الحُجُجِ بِلآ حُجُّةٍ مِنْهَا
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang bernilai hujah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima pendapat yang lahir dari kesepakatan dalam ijma’, maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu menerimanya tanpa hujah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat mujtahid secara perseorangan adalah bukan hujah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebutu taqlid.

2.    HUKUM TAQLID
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, di antaranya firman Allah dalam QS. Luqman: 21
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah mereka berkata: bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami melakukannya.
Di samping itu, ada pula ayat yang mengisyaratkan tidak perlu semua mendalami pengetahuan agama, tapi cukup sebagian orang saja, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah pada QS. At-Taubah: 122
فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ
Artinya:
Kenapa tidak keluar sebagian dari setiap golongan di antara mereka untuk mendalami pengetahuan agama dan mengajari (memperingatkan) kaumnya setelah mereka kembali.
Karena sebagian yang tahu pengetahuan agama dan banyak yang tidak tahu, maka yang tahu itu disuruh bertanya kepada yang tahu, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl: 43
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
Bertanyalah kepada para ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui.

Hukum taqlid dibagi menjadi 3, yakni:
a.    Haram
•    Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya kebiasaan dan perkataan orang-orang dahulu, yakni jika seseorang melakukan tirakatan selama tujuh malam di makam si A, ia akan memperoleh apa yang diinginkannya. Adat kebiasaan dan perkataan ini diikuti orang, sedang tidak terdapat dasarnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Bahkan Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ
 آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah” mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami (apakah mereka mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?
Perbuatan mengikuti adat kebiasaan dan perkataan nenek moyang semacam itu termasuk perbuatan yang dilaknat Allah SWT, tidak akan mendapat pertolongan-Nya di dunia dan di akhirat nanti.
•    Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
•    Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah: 31
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا
 لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya:
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga) mereka mempertuhankan Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Sehubungan dengan ayat tersebut, Ady bin Hatim berkata: aku pernah datang kepada Rasulullah dan pada leherku ada salib, beliau berkata: “Hai Ady lemparkan salib ini dari lehermu dan jangan lagi kamu pakai.” Kemudian beliau membaca QS. At-Taubah: 31. Ady berkata: Ya Rasulullah, kami tidak menjadikan pendeta-pendeta itu sebagai Tuhan. Rasulullah bersabda:
Bukankah mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka telah mengharamkan atasmu apa yang telah dihalalkan Allah bagimu, lalu kamu mengharamkannya pula.
Dari ayat ini dipahamkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap pendeta dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. Sebabnya ialah karena mereka bertaqlid kepada pendeta dan rahib mereka itu. Apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh pendeta dan rahib mereka ikuti dan laksanakan tanpa memikirkan dan mempertimbangkan apakah yang disampaikan itu benar berasal dari Allah atau tidak. Yang terpenting mereka melaksanakan dengan patuh semua yang disampaikan dan diperintahkan itu. Hal ini dikemukakan Allah secara analogi dalam ayat ini, bahwa orang yang bertaqlid kepada pendeta dan rahib atau ulama sedang mereka mengetahui kesalahan-kesalahan mereka sama dengan orang yang telah menyembah atau menjadikan Tuhan-Tuhan lain selain Allah. Perbuatan ini sangat dicela bahkan dilarang keras oleh Allah dan Rasul.
Taqlid yang tiga macam ini dicela oleh Allah dan pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di kemudian hari, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Israa’: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
Seandainya seseorang merasa dirinya tidak mempunyai ilmu atau tidak dapat mengambil pengertian suatu ayat atau hadis, hendaklah ia menanyakan hal itu kepada ahlinya, dengan catatan tidak boleh seorang awam bertaqlid kepada seorang ulama dengan anggapan bawa ulama itu tidak mungking salah atau pasti benar dan tidak boleh bertulis kepada orang yang mengharuskan berfatwa sesuai dengan madzhab Hanafi sehingga semua persoalan harus kembali kepada madzhab Hanafi saja atau dengan madzhab tertentu saja.


b.    Boleh
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulullah yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenara masalah yang diikuti itu. Dengan kata lain, taqlid ini hanya untuk sementara saja.
Sehubungan dengan ini Ad Dahlawi berpendapat bahwa taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam arti mengikuti pendapat seorang alim karena belum nyata hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun akan segera meninggalkan pendapat itu bila ternyata berlawanan dengan hukum Allah dan Rasulullah.
c.    Wajib
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataan dan perbuatannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.

3.    KETENTUAN TAQLID
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai hukum taqlid, yakni diperbolehkan seseorang bertaqlid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulullah yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenara masalah yang diikuti. Dari situ timbul pertanyaan, kepada siapa ia bertqlid?
Ibn al-Humman menunjukkan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seorang dari kalangan ahli ilmu yang diketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. (pengertian ‘adalah atau ‘adil di sini mengandung maksud ‘adil dalam pengertian periwayatan hadis, bukan dalam pengertian peradilan, yaitu seorang yang memiliki kriteria aau sifat tidak pernah melakukan dosa besar, tidak sering melakukan dosa kecil, serta selalu menjaga muru’ah atau harga diri).
Pengetahuannya akan kemampuan seseorang untuk berijtihad dan memiliki sifat adil tersebut diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita tentang dirinya. Menurut kalangan ulama Syafi’iyah bahwa pendapat yang ashah (paling tepat) adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu memeriksanya.
Bila dua syarat tersebut (berilmu dan ‘adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ulama sepakat bahwa bila diduga kuat ia tidak memiliki satu di antara keduanya, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya.
Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujahid yang memenuhi syarat tersebut, maka pendapatnya harus diikuti karena memang tidak ada alternatif (pilihan) lain. Namun apabila dalam satu wilayah ada beberapa orang dalam derajat yang sama, maka boleh memilih salah satu di antaranya untuk diikuti.

D.    TALFIQ
1.    PENGERTIAN TALFIQ
Kata talfiq (تلفيق) berasal dari kata لفّق yang artinya mempertemukan menjadi satu atau berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda, sebagaimana pernyataan تَلْفِيْقِ الثَّوْبِ yang artinya mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Sedangkan menurut istilah, talfiq berarti mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambil dari beberapa madzhab. Contohnya dua orang yang hendak melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, hanya dengan melaksanakan iklan (pengumuman) saja. Dasar pendapatnya ialah dalam hal wali mereka mengikuti pendapat Hanafi. Menurut pendapat Hanafi, sah nikah tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti penapat Malik. Menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi, cukup dengan iklan (pengumuman) saja. Dasar pendapat ini adalah talfiq dengan mengambil pendapat beberapa madzhab dalam satu masalah.

2.    HUKUM TALFIQ
Pada dasarnya, talfiq ini dibolehkan oleh agama selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Akan tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja dalam arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang dicela para ulama. Jadi, pada hakikatnya talfiq itu dasarnya adalah niat. Jika niat melakukannya semata-mata untuk mencari kebenaran maka hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya jika tujuannya bukan untuk mencari keridhaan Allah, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang berbeda dengan itu, yaitu membolehkan. Kemudian diluruskan pengertiannya oleh al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukannya, sedangkan Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat tersebut kita bandingkan dengan pandangan al-Razi dalam kitab al-Mahshul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan oleh al-Royani dan komentar Ibn ‘Abad al-Salam, dapat disimpulkan bahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Apabila moivasinya negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Misalnya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat tersebut tidak sulit. Maka jelas bahwa orang tersebut menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara’. Namun apabila talfiq dilakukan dengan motivasi mashlahat, yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama, maka talfiq dapat dilakukan.
Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk mengikuti persyaratan yang dikemukakan al-Alai yang diikuti oleh al-Tahrir serta sesuai dengan yang diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Quduri yang diikuti Ibn Syureih dan Ibnu Hamdan. Persyaratan dalam talfiq tersebut adalah:
a.    Pendapat yang dikemukakan oleh madzhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama
b.    Dalil dari pendapat yang dikemukakan madzhab itu dinilainya kuat dan rajih.

E.    KHILAFIYAH
1.    PENGERTIAN KHILAFIYAH
Khilafiyah/ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah khalafa-yakhlifu-khilafan (خلف – يخلف – خلافا) yang berarti berselisih, tidak sepaham, perbedaan paham (pendapat). Sedangkan secara terminologis, khilafiyah adalah perselisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Perbedaan pendapat dikalangan fuqaha adalah suatu hal yang wajar dan sesuai dengan corak ijtihad, dan mereka sendiri masih tetap berada di sekitar apa yang ditunjuki oleh Syara’.
Dengan demikian, masalah khilafiyah merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum Islam. Seperti firman Allah SWT sebagai berikut:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّا سَ أُ مَةً وَا حِدَةً وَلاَ يَزَ الُوْ نَ مُخْتَلَفِيْنَ
Artinya:    “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud: 118)
إِنَّكُمْ لَفِيْ قَوْلٍ مُهْتَلِفٍ
Artinya:    “Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (Q.S. Al-Zariyat: 8)
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِيْ بَيْنَهُمْ يَوْ مَ الْقِيَا مَةِ فِيْمَا كَا نُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ
Artinya:    “Sesungguhnya tuhan kamu akan memutuskan antara mereka dihari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu”. (Q.S. Yunus: 93)
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat diatas sering terjadi pada diri manusia, karena ikhtilaf memang bisa menimbulkan perbedaan total, baik dalam ucapan, pendapat, sikap maupun pendirian.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertenntangan secara diametral”.
Jadi yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilainan (ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya, perbedaan pendapat fuqoha’ tentang hukum wudhu seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat dan lain-lain.

2.    FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MASALAH KHILAFIYAH
Ditinjau dari segi sebab dan akarnya, ada dua bentuk ikhtilaf/khilafiyah (perselisihan), yaitu:
a.    Ikhtilaf/khilafiyah yang disebabkan oleh faktor akhlaq
Ikhtilaf/khilafiyah yang disebabkan oleh faktor akhlaq ini diketahui oleh para ulama dan murabbi (pembina) yang memperhatikan beraneka motifasi dari berbagai sikap dan peristiwa.
Di antara sebab-sebabnya yaitu sebagai berikut:
    Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri.
    Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti.
    Egoisme dan mengikuti hawa nafsu. Di antara akibatnya: ambisi terhadap kepemimpinan atau kedudukan.
    Fanatik kepada pendapat orang, madzhab, dan golongan.
    Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama’ah, atau pemimpin.
Semua ini adalah akhlaq tercela dan muhlikat (hal yang mencelakakan) dalam pandangan para ‘ulama qulub (ulama yang menyelidiki masalah hati). Ikhtilaf yang timbul karena perangai yang tercela ini adalah perselisihan tidak terpuji, bahkan termasuk kategori perpecahan yang tercela.
b.    Ikhtilaf yang timbul karena faktor pemikiran
Ikhtilaf ini timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah, baik masalah ‘alamiah ataupun masalah ‘amaliah. Contoh dalam masalah ‘alamiah adalah perbedaan menyangkut cabang-cabang syari’at dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip yang pasti. Adapun dalam masalah ‘amaliah adalah perbedaan mengenai sikap-sikap politik dalam pengambilan keputusan atas berbagai masalah, akibat, perbedaan sudut pandang, kelengkapan data dan informasi, pengaruh-pengaruh lingkungan akhir zaman.
Sebagian ikhtilaf bersifat politik semata, yakni berkaitan dengan pertimbangan antara kemaslahatan dan kemadharatan, antara pencapaian dan kerugian di masa sekkarang dan yang akan datang.
Sebagian yang lain bersifat fiqih murni, yakni kembali kepada perbedaan hukum syar’i mengenai masalah tersebut, apakah boleh atau terlarang? Seperti masalah partisipasi dalam pemerintahan berkoalisi dengan non-muslim dan keikutsertaan wanita dalam pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai orang yang dicalonkan.
Sementara itu, sebagian yang lainnya merupakan gabungan antara perbedaan yang bersifat politis dan fiqih.
Termasuk ke dalam khilafiah fikriah: perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan fiqih madzhab. Perbadaan lainnya adalah mengenai penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah dan tokoh-tokohnya.
Adapun perselisihan yang terbesar dan terluas ialah perselisihan dalam masalah cabang-cabang fiqih dan sebagian masalah-masalah aqidah yang tidak qath’i. Dalam masalah ini banyak contoh yang dapat disebutkan:
    Dalam masalah thaharah
Hukum cologne dan spirtus yang digunakan untuk bersuci, benda yang diproses dari bahan yang asalnya najis, air got apabilla telah dibersihkan, perlunya berwudhu karena memakan daging onta, menyentuh wanita atau karena menyentuh kemaluan, dan sebagainya.
    Dalam masalah shalat
Seperti melaksanakan kedua tangan atau bersedekap, bacaan basmallah dipelankan atau dikeraskan atau tidak dibaca sama sekali. Perbedaan dalam masalah adzan dan iqamat, hukum shalat berjama’ah, duduk istirahat dan turun untuk bersujud dengan kedua tangan sebelum lutut atau sebaliknya, apa saja yang membolehkan jama’ antara dua shalat, dan sebagainya.
    Dalam masalah perhiasan dan kecantikan
Apakah memelihara jenggot itu wajib atau sunnah? Apakah boleh atau tidak merapikannya atau mengguntingnya? Apa hukum memelihara kumis? Apakah boleh memanjangkan pakaian walaupun bukan untuk tujuan kesombongan? Apakah wajib bagi wanita memakai cadar ataukah cukup menutup selain dari wajah dan kedua telapak tangannya? Apakah wanita boleh menggunakan sebagian alat kecantikan ringan (seperti celak mata)? Bolehkah wanita menggunakan cologne untuk wewangian? Apa hukum foto, baik foto yang punya bayangan maupun tidak, khususnya fotografi dan televisi?
    Masih banyak lagi masalah-masalah ijtihadiyah lainnya yang dipersilisihkan oleh para ulama karena tidak adanya nash syar’i yang qath’iyyuts tsubut dan qath’iyyud dalalah.

3.    MACAM-MACAM KHILAFIYAH
Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.
a.    Ikhtilaf/khilafiyah tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
b.    Ikhtilaf/khilafiyah tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
c.    Ikhtilaf/khilafiyah afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam).

F.    FATWA
1.    PENGERTIAN FATWA
Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai kejadian (peristiwa).sedangkan menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas  identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun klektif. Fatwa adalah bahasa arab yang berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum.  Ketetapan atau keputusan hukum tentang sesuatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seoag mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya. Contohnya  bila A seorang mujtahid dihadapakan dengan persoalan nikah tanpa wali, kemudian si A memikirkannya dengan menggunakan dalil  syar”I atau dengan menggunakan cara mengistinbathkan hukum, kemudian mengambl kesimpulan bahwa tidak sah nika tanpa wali. Kesimpulan pendapat atau ketetappan hukum yang dikemukakan A ini disebut fatwa sedang si A yang berfatwa disebut mufti.
Tindakan memberi fatwa disebut futya, atau ifta,istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang memintaafatwa disebut mustafti, peminta fatwa bis perseorangan,lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya.

2.    KEDUDUKAN FATWA
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam.Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban.Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut.Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.

Syarat-syarat seorang mufti:
a.    Mufti member fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.
b.    Hendaknya seorang mufti itu berwibawa, sabar, dan dapat menguasai dirinyi, tidak cepat marah, dan tidak suka menyombongkan diri .’abasa ayat 8-11
c.    Mufti itu hendaknya seorang yang berkecukupan hidupnya tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain.
d.    Hendaklah seoran mfti mengetahui ilmu kemasyarakatan.
Menurut pandangan imam ahmad bahwa yang boleh mejadi mufti hanyalah orang yang memenuhi lima syarat , yaitu:
a.    Member fatwa, dengan niat mencari keidhaan Allah semata.
b.    Hendaklah a mempunya ilmu, ketenangan, kewibawaan dan dapat menahan kemarahan
c.    Seorang yang benar-benar menguasai ilmunya, buan seorang yang kurang ilmunya.
d.    Seseorang yang mempunyai kecukupan,
e.    Mengetahui ilmu kemasyarakatan

Kewajiban para mufti:
Dilihat dari sejarah kaum muslimin, seorang mufti diangkat oleh pemerintah pada suatu masa. Imam malik bin annas pernah diangkat menjadi mufti khalifah abbasiyah. Dan adakalanya hanya merupakan seorang ulama yang terkenal dan dipercaya oleh masyarakat seperti imam ahmad bin hambal,dan ibnu taimiyah.
Seorang mufti dalam memberikan fatwanya bisa secara langsung dan tidak langsung.Secara langsung mufti dalam menjawab persoalan yang dikemukakan kepadanya pada saat disampaikan penanya.Secara tidak langsung dengan memberikan jawaban secara tertulis dalam buku atau majallah.
Imam ahmad bin hanbal menulis bahwa  ada 3 macam kewajiban seorang mufti, yaitu:
a.    Menyampaikan fatwa benar-benar sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits. Ia harus berijtihad dengan sungguh-sungguh dan tidak ada paksaan atau ancaman yang memengaruhi hasil ijtihadtersebut.
b.    Hendaklah ia memohon petunjuk dan pertolongan Allah, agar dalam mengistinbathkan hukum Allah mengarah kearah yang benar, setelah itu baru membhas permasalahan yang sedang dihadahadapi, dengan meneliti nash al-qur,an dan hadits, fatw asahabat dan pendapat ulama terdahulu yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diselesaikannya.
c.    Hendaklah ia berdaya upaya menetapkan hukum sematamata guna mencari keridhaan allah dengan mengendalikan hawa nafsunya sehingga dalam memberikan fatwa bukan untuk kepentingan pribadi.

Perbedaan dan persamaan antara hakim dan mufti:
Persamaan antara vonis dengan fatwa adalah kedua keputusan itu diambil dengan mengetahui duduk kejadian serta didasarkan pada hukum syara’.
Ada beberapa persamaan atau perbedaan aantara hakim dan mufti. Diantara persamaannya ialah:
a.    Baik hakim maupun mufti adalah seorang mujtahid yang dapat mengistinbathkan hukum dari dalil yang tafsili.
b.    Hakim dan mufti harus mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh persoalan atau peristiwa yang akan diselesaikan.
c.    Hakim dan mufti harus mengetahui keadaan masyarakat tempat ia berada.
Perbedannya ialah:
a.    Persoalan atau peristiwa yang perlu diselesaikan oleh seorang mufti lebih lus bidangnyadibandingkan tugas hakim. Bidang hakim terbatas pada telah yang ditentukan atau ditetapkan undag-undang atau peraturan pemerintah suatu negara, sedang bidang tugas mufti tidak terbatas, bahkan dapat berlaku untuk seluruh kaum muslimin yang menjadi penduduk suatu negara.
b.    Keputusan hakim berlaku penuh terhadap penggugat dan tergugat atau terdakwa dan pendakwa, sedang fatwa boleh dilaksanakan atau tidak tergantung orang yang memerlukan fatwa itu.
c.    Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa yang dikemukakan daerah wewenang hakim itu, sedang fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim.

3.    LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DI INDONESIA
a.    Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama.Pembaharuan dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system, tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakun terakhir pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengbah istilah al- sunnah al-sohihah menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
b.    Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari mazhab.Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’I menempati posisi yang dominan. Metode pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul (pendapat), maka qou itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.
c.    Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.

G.    QANUN DAN TAQNIN SYARIAH
1.    SEJARAH AWAL PENYUSUNAN QANUN DI DUNIA ISLAM
Ide penyusunan kanun menurut Abu Zahrah bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia islam.pembukuan al-Qur’an dan penyeragaman qiraatnya di zaman khalifah utsman bin affan merupakan salah satu contoh konkretnya. Menurut Qodri Azizy contoh yang lebih awal dapat dirujuk Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad Saw. Bila dicermati Piagam Madinah sudah mengunakan bahasa undang-undang dasar sebagaimana dikenal di zaman modern ini.
Selanjutnya pada masa dinasti Abbasiyyahpada masa khalifah  Abu Ja’far al-Manshur, ibn al-Muqaffa’ kembali mencetuskan ide taqnin ketika ia menyaksikan adanya kesenjangan hukum dan pertentangan keputusan pengadilan pada masa hidupnya.

2.    DEFINISI DAN TUJUAN QANUN
Secara etimologis berasal dari bahasa yunani yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa suryani, yang berarti alat pengukur kemudian berarti kaidah. Dalam bahasa inggris, qanun disebut canon, yang artinya lain, sinonim artinya dengan peraturan regulation, rule atau, ordinance), hukum (law), norma (norm), undang-undang (statute atau code) dan peraturan dasar (basic rule). Qonun ialah setiap perkara yang bersifat kulli (menyeluruh) yang relevan dengan seluruh juz’iyah (bagian-bagian)nya hukum-hukum juziyah itu dikenal.
Ulama salaf memberikan definisi qanun adalah kaidah-kaidah yang bersifat menyeluruh ddidalamnya tercakup hukum-hukum bagian. Qanun dasarnya adalah rakyu (produk manusia) karena qonun produk manusia bisa disebut hukum Wadhi. Qonun produk manusia yang pertama kali dkenal ialah “qanun Hamuraby” dinegara babilon, kumpulan qanun klasik yang paling terkenal adalah undang-undang romawi.undang-undang romawi pengruhnya sangat besar karena banyak mempengaruhi undang-undang barat termasuk juga undang-undang didunia islam.
Qanun (undang-undang) berarti kumpulan undang undang yang dikemas untuk bidang-bidang tertentu, seperti undang-undang pidana. Qanun ialah kumpulan hukum produk manusia yang digunakan untuk menyelesaikan dan memutuskan perkara manusia yang berselisih.
Dalam konteks indonesia stilah qanun tidak hanya untuk hukum yang berkaitan dengan masyarakat, juga untuk masalah ibadah seperti zakat dan haji. Dalam penggunaannya menurut Subhi Mahmassani qanun digunakan dalam tiga makna.
a.    Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang
b.    Sinonim bagi kata hukum
c.    Sinonim bagi kata undaang-undang
Kanun dalam pengertian ini biasanya hanya mengenai hukum yang berkaitan dengan muamalah  bukan ibadah.
Dalam perkembangannya qanun dapatlah dikatakan identik dengan undang-undang di negara Islam,berupa:
a.    Mengatur hal-hal yang berkaitan antarsesama mausia (terutama sekali wilayah muamalat atau hal-hal  keduniaan).
b.    Berisi hukum islam yang sudah jelas ketentuan pokoknya dari nas dan dalam waktu bersamaan kebijakan publik atas dasar  “urf, istihsan.
c.    Qanun yang secara elektis memilah dan memilih materi yang berasal dari banyak perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum islam untuk kemudian disusun dan ditetapkan sebagai peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat.
d.    Dalam beberapa hal terkadang melewati ketentuan hukum islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum dengan dalih politik hukum islam.
e.    Berupa undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau lembaga eksekutif yang mempunyai fungsi legislatif.
 Dapat disederhanakan bahwa qanun adalah undang-undang yang berisi hukum islam, baik seluruhnya maupun sabagiannya, dan tetap menggunakan prosedur menemukan hukum islam seperti dengan mengunkan alasan istihsan, ‘urf, mashlahah dan siyasah syar’iyah.
Proses penyusunan qanun disebut taqnin. Secara terminologi dalam pengertian umum taqnin adalah penetapan sekumpulan peraturan atau undang-undang oleh penguasa yang memiliki daya paksa untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat. Sedng dalam pengertian khusus taqnin berarti penetapan sekumpulan peraturan atau undang-undang oleh penguasa yang memiliki daya paksa untuk mengatur suatu masalah tertentu, sepertimasalah perdata, pidana, dsb.
Tujuan diadakannya taqnin atau legslasi hukum islam oleh penguasa negara adalah untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat. Dengan demikian diharapkan kehidupan masyarakat akan menjadi baik, aman, tertib, dan penuh keharmonisan.

3.    BIDANG-BIDANG PENGTAQNINAN
a.    Al-ahwal al-Syakhsiyah ( hukum keluarga)
Pen-taqnin-an di bidang al-ahwal al-Syakhsiyah ini merupakan contoh di mana pengaruh hukum Barat terhadap materi hukum Islam relatif kecil bahkan tidak ada, dan merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan diri terhadap pengaruh hukum Barat yang diterapkan pemerintah kolonial di dunia Islam yang merupakan daerah jajahannya. Di sisi lain bidang al-sahwal al-Syakhsiyah diperkenalkan melalui dakwahnya dan memberikan contoh pelaksanaannya dalam kehidupan keluarga. Sosialisasi hukum semacam ini, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan menjadikan hukum Islam bidang hukum al-ahwal al-Sykhsiyah menjadi hukum adatnya.
Kenyataan di lapangan, hukum islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama yang menuju pada kitab fiqih banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama, untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan di lingkungan peradilan agama yang dapat ijadikan pedoman para hakim dalam melaksanakan tugasnya. Penggagas kompilasi hukum Islam ini adalah Prof. H. Bustanul Arifin SH.
Hasil dari proses kerja ini terwujud kompilasi hukum Islam.
Buku I tentang hukum perkawinan
Buku II tentang hukum kewarisan
Buku III tentang hukum perwakafan
Sampai sekarang, para ulama dan lembaga-lembaga keagamaan masih meningkatkan kekuatan peraturan tersebut dari instruksi Presiden menjadi undang-undang.
Pen-taqnin-an bidang perwakafan sudah merata di seluruh dunia Islam, misalnya: di Mesir, dimulai dengan keluarnya undang-undang Wakaf No. 48 Tahun 1946 yang kemudian disusul dengan undang-undang No. 180 Tahun 1952, yang menghapus Wakaf.
Dari pen-taqnin-an di bidang al-ahwal al-Syakhsiyah (hukum keluarga),perwakafan dan zakat tampak jelas sekali , hukum Islam sedang dicoba diterapkan diberbagai belahan dunia Islam dengan menempuh jalan al-tadrij atau al-tadaruj(bertahap dalam penerapan),sesuai dengan kaidah fiqih: Ma la judraku kuluhu la yutraku kuluhu (apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya).
b.    Pentaqninan Di Bidang Mu’amalah
Pen-taqnin-an di bidang mu’amalah dimulai sejak dikeluarkannya Majalah Al-Ahkam al-Adliyah. Untuk menjamin kepastian hukum, kekhalifahan Turki Usmanimembentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama besar dan fuqoha yang dietahui oleh Ahmad Judat Basya.dari jerih payah para ulama dan pejabat negara pada zaman kekhalifahan Turki Usmani ini, terwujudlah suatu karya besar yatu kodifikasi Hukum Perdata Islam yang bersumber pada AL-qur’an dan Hadits serta kitab fiqih standar mazhab Hanafi.
Dengan munculnya Majalah Al-Ahkam ada perkembangan baru dari Hukum Islam pertama: berpindahnya kewenangan penetapan hukum dari ijtihad fardi ke ijtihad jama’i (dari ijtihad perorangan kepada ijtihad kolektif) kedua: ada kepastian hukum yang menjadi pegangan para hakim dan masyarakat. Ketiga: terkodifikasinya hukum Islam dalam satu kitab undang-undang tidak tersebar di dalam berbagai kitab fiqih yang tidak mudah untuk dipelajari.
Satu hal baru lagi di bidang fiqih muamalah adalah munculnya lembaga ekonomi baru didunia Islam,diantaranya karena perannya di bidang keuangan adalah Perbankan Syariah, Asuransi Tafakul, Pasar Modal Syariah, Bank Perkreditan syariah, Obligasi Syariah, Koperasi Syariah, Reksadana Syariah.
d.    Pentaqninan di Bidang Siyasah
Pen-taqnin-an di bidang siyasah ini hanya di bidang siyasah dusturiyah yaitu berhubungan dengan Undang-Undang Dasar suatu Negara.
    Setelah Dunia Islam bebas dari penjajahan dan membentuk negara nasionalnya, negara dihadapkan pilihan yang sulit. Mengadopsi keseluruhan hukum penjajah tidaklah islami, dan mau mengmbil keseluruhan aturan fiqih sering tidak realistis, dari ijtihad masing-masing negara, memunculkan 3 type besar yatu:
•    Mengambil kesseluruhan hukum Barat, seperti turki,
•    Mengambil sumber dari hukum Islam secara ketat seperti Saudi Arabia dan Iran.
•    Mencari kompromi di antara keduanya, seperti mesir, indonesia, malaysia.
Ada beberapa kesulitan dalam membuat konstitusi yang tertulis.
•    Aspek peristilahan
•    Di dalam kitab-kitab fiqih yang lam jarang ditemukan bahan khusus dalam satu bab atau pasal tertentu tentang konstitusi
•    Aspek pendidikan
Kesulitan lain yaitu: pertama : pen-taqnin-an suatu hukum dan menetapkannya berlaku untuk ditaati dianggap bertentangan dengan kebebasan berpikir dan berijtihad. Kedua: bidang hukum publik berlaku untuk semua negara yang mayoritas memiliki agama, dan juga masalah aqidah.
Pada masa sekarang negara di dunia Islam telah memiliki undang-Undang Dasar sendiri mengambil bentuk negara kesatuan. Dengan sistem Republik, kecuali Saudi Arabia, Yordania, dan Brunei Darussalam.
e.    Pentaqninan di Bidang Qadla’
Pada masa sekarang negara di dunia Islam memiliki lembaga-lembaga peradilannya meskipun didalam pembentukan lembaga memiliki pengalamannya sendiri-sendiri yang tidak mudah.
Contoh kasus di indonesia, telah keluar undang-Undang No.14 tahuk kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan:”bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara”. Pada prinsipnya empat lembaga tersebut, terdapat di negara dunia Islam.
Tingkatan peradilan pada umumnya sama, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat terakhir kasasi. Pengadilan Agama merupkan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding, dan terakhir Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.

4.    KELEBIHAN DAN KELEMAHAN QANUN
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya taqnin al-ahkam.
a.    Seorang hakim tidak perlu bersusah payah lagi untuk mencari ketentuan hukum persoalan yang diajukan kepadanya dalam berbagai hukum fikih yang ada.
b.    Menutup kemungkinan masalah yang sama dengan latar belakang yang sama pula diputuskan dengan hukum yang berbeda-beda, seba setiap hakim wajib merujuk pada qanun yang sama dan dinyatakan berlaku secara rasional oleh penguasa. Artinya, mau tidak mau hukum yang digunakan itu akan dipatuhi masyarakat, sebab bila mereka tidak mematuhinya, niscaya dapat dikenkan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Selain kelebihan juga mempunyai kelemahan
a.    Hukum berada pada posisi yag tergantung pada penguasa. Artinya hukum islam baru dapat berlaku dalam suatu masyarakat bila sudah diundangkan oleh penguasa, dan tanpa itu praktis hukum islam tidak dapat diterapkan dalam masyarakat.
b.    Akan terjadi reduksi pemahaman dan persepsi umat islam mengenaai sesuatu yang disebut sebagai hukum. Sesuatu dianggap sebagai hukum bila sudah diundangkan. Hanya hukum islam yang termaktub dalam qanun saja yang dianggap sebagai hukum.
5.    QANUN DI DUNIA ISLAM
Secara garis besar negara-negara di dunia islam dapat dibedakan dalam tiga kategori. Pertama, negara yang mejadikan islam sebagai ideologi negara yang disebut negara islam. Ciri utama adalah kata “islam’ dinyatakan sebagai dasar dan agama negara, di dalamnya dijalankan syariat islam secara formal sebagai hukum positif. Contohnya Arab Saudi.
Kedua, negara yang penduduknya sebagian besar umat Islam dan hukum islam menjadi bagian dari sumber hukum negara, disebut negara Muslim. Ciri utama adalah didalamnya terdapat formalisasi hukum Islam dalam bidang tertentu, misalnya hukum perdata.untuk bidang-bidang lainnya, syariat Islam dijadikan sebagai sumber etika moral atau input bagi pembangunan hukum nasional dan kebijakan publik. Contoh indonesia.
Ketiga, negara yang hanya menjadikan Islam sebagai etika moral yang lazim disebut negara sekuler. Ciri utamanya adalah dapat menerima etika moral agama, tetapi tidak mendukung formalisasi hukum agama dalam kenteks kehidupan bernegara. Contoh turki.
Dalam pembahasan qanun di dunia Islam dari kelompok negara kerajaan contohnya adalah Arab Saudi, Maroko, Yordania. Dari kelompok Republik contohnya adalah Turki, Mesir, dan Pakistan. Keenam negara tersebut diberlakukan qanun didalamnya terutama dalam entuk qanun asasi atau konstitusi. Berbeda dengan Maroko, Yordania, Mesir, dan Pakistan , Arab Saudi menjadikan al-Qur’an sebagai Undang-Undang Dasar negaranya. Maroko menegaskan bahwa Islam merupakan agama negara begitupun dengan yordania. Indonesia berbeda dengan Maroko dan Yordania kanun asasi atau konstitusi Indonesia tidak disebutkan Islam sebagai agama negara, tidak berarti indonesia adalah negara sekuler.

6.    RELEVANSI IDE PENYUSUNAN QANUN DALAM KONTEKS INDONESIA
Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut paham Taqnin (legislasi), istilah lain, negara hukum indonesia adalah negara yang menganut “positivisme yuridis”.artinya segala bentuk hukum baru dapat di berlakukan secara efektif di negara Republik Indonesia ini setelah diundangkan secara resmi oleh penguasa.ide taqnin di dunia Islam yang dipelopori oleh Ibn al-Muqaffa’ pada  tahun 137 H/755M sejalan dan memperkuat ide legislasi. Hukum Islam di samping berlaku dengan sendirinya diperkuat dengan undang-undang.
Kendati menyimpan banyak kekuranganPembumian hukum Islam. Maka ide taqnin ibn al-muqaffa’ sangat relevan dengan pembentukan peraturan perundangan yang ditetapkan di indonesia. Dengan jalan itu hukum Islam dapat diberlakukan di negara Indonesia. Dalam konteks Indonesia ide tqnin telah diterima dan dipraktikan dalam kehidupan nyata bernegara. Buktinya kita telah memiliki Undang-Undang Perkawinan  ( UU No. 1 tahun 1974), Undang-Undang Haji ( UU No. 17 Tahun 1999), Undang-Undang Zakat ( UU No. 38 1999), Undang-Undang Wakaf (UU No. 41 tahun 2004) dan Undang-Undang Perbankan Syari’ah (UU No. 21tahun 2008).
Dalam era reformasi ini  terbuka sangat lebar eksistensi hukum Islam sebagai salah satu dari tiga sumber hukum nasional. Dimasa reformasi ini hukum Islam harus mampu ikut bicaraguna mengganti Hukum warisan kolonial Belanda. Hukum nasional kita benar-benar mencerminkan ciri an nilai masyarakat Indonesia yang religius, mandiri, merdeka, dan lepas dari pengaruh nilai dan formalisasi masa pemerintahan Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan