BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN MULTKULTURAL
Secara etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Menururt Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Sementara itu, kata “multikultural” merupakan kata sifat dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni multi dan culture. Secara umum, kata “multi” berarti banyak, ragam, dan atau aneka. Sedangkan kata “culture” dalam bahasa Inggris memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan dan atau pemeliharaan. Sehingga, multikultural dapat diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang seseorang. Dengan demikian, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya peserta didik.
Secara terminologis, definisi pendidikan multikultural dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain oleh James A. Banks yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas. Dengan demikian, apapun latar belakang peserta didik yang berupa gender, kelas sosial, etnik, agama, dan ras mereka akan memperoleh hak dan perlakuan yang sama dari sekolah.
Sedangkan menurut Ruriko Okada, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural. Dengan kata lain, kemampuan peserta didik dalam mengenal, menerima, dan menghargai keragaman kultural dapat dikembangkan melalui rumusan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
Pendapat berkaitan dengan definisi pendidikan multikultural juga dikemukakan oleh Musa Asy’ari, menurut beliau pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
B. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Karakteristik adalah sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Menurut H.A.R Tilaar, pendidikan multikultural biasanya memiliki ciri tujuanya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya (berperadaban)".
Sonia Nieto, seorang profesor, penulis, sekaligus guru di bidang multikulturalisme, mendefinisikan karakteristik pendidikan multikultural dalam konteks sosio-politik, ditujukan kepada masyarakat dan proses pendidikan, bahwa elastisitas (kemampuan) dalam pendidikan sebagai bentuk tetap dan statis. Ada tujuh karakteristik yang disampaikan oleh Nieto, yaitu:
1. Antiracist Education (Pendidikan yang Tidak Membenci Ras Orang Lain)
Pendidikan anti-rasis membuat anti-diskriminasi eksplisit dalam kurikulum dan mengajarkan siswa keterampilan untuk memerangi rasisme dan bentuk lain dari penindasan.
2. Basic Education (Pendidikan Dasar)
Hak dasar dari semua siswa untuk terlibat dalam inti dan akademisi adalah sebuah kebutuhan mendesak bagi semua siswa.
3. Important for All Students (Penting bagi Semua Siswa)
Dalam hal ini semua siswa berhak dan membutuhkan pendidikan yang inklusif dan ketat.
4. Pervasive (Luas)
Pendidikan multikultural menekankan pendekatan yang menembus seluruh pengalaman pendidikan, termasuk iklim sekolah, lingkungan fisik, kurikulum, dan hubungan terhadap sesama.
5. Education for Sosial Justice (Pendidikan untuk Keadilan Sosial)
Siswa diajak secara langsung untuk melakukan tindakan sosial di lingkungannya.
6. Education as Process (Pendidikan adalah Suatu Proses)
Siswa dan institusi pendidikan dalam melakukan proses pendidikan melibatkan masyarakat (komite sekolah) dalam meningkatkan prestasi belajar, lingkungan belajar, preferensi belajar siswa dan variabel budaya.
7. Critical Pedagogy (Pendidikan Kritis)
Dalam berfikir kritis siswa dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keluarga, sekolah, artistik, dan pengalaman pendidikan. Siswa dituntut untuk melakukan perubahan pemikiran dari kesadaran pasif, magis menuju kesadaran kritis melalui tindakannya.
Selain pendapat dari Sonia Nieto, ada beberapa pihak yang mengemukakan bahwa karakteristik pendidikan multikultural dibagi menjadi tiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah Aly. Ketiga karakteristik tersebut, antara lain:
1. Berprinsip pada Demokrasi, Kesetaraan, dan Keadilan
Prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang mendasari pendidikan mutikultural, baik pada level ide, proses, maupun gerakan. Ketiga prinsip ini menggarisbawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Karakteristik pendidikan multikultural yang berprinsip kepada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini agaknya sejalan dengan program UNESCO tentang education for all (EFA), yaitu program pendidikan yang memberikan peluang yang sama kepada semua anak yang memperoleh pendidikan. Bagi UNESCO, EFA merupakan jantung kegiatan utama dari kegiatan pendidikan yang dilakukan selama ini.
Dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini ternyata kompatibel dengan doktrin-doktrin Islam dan pengalaman historis umat Islam. Adapun doktrin Islam yang mengandung prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, antara lain ditemukan dalam QS. Asy-Syura 42: 38, QS. Al-Hadid 57: 25, dan QS. Al-A’raf 7: 181. Menurut Latif B. Ibrahim, ketiga ayat Al-Qur’an tersebut memberikan landasan moral dan etik bahwa setiap orang memiliki hak untuk memperoleh perlakuan yang adil, baik dalam soal ucapan, sikap, maupun perbuatan. Perlakuan adil di sini berkaitan dengan interaksi sosial antara orang muslim dengan non-muslim.
2. Berorientasi kepada Kemanusiaan, Kebersamaan, dan Kedamaian
Untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di masyarakat yang heterogen diperlukan orientasi hidup yang universal. Di antara orientasi hidup yang universal adalah kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Orientasi hidup yang universal ini merupakan titik orientasi bagi pendidikan multikultural. Dengan demikian, pendidikan multikultural menentang adanya praktik-praktik hidup yang menodai nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian seperti kekerasan, perusuhan, konflik, dan individualistik.
Kemanusiaan (humanity) yang dijadikan titik orientasi oleh pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai nilai yang menempatkan peningkatan pengembangan manusia, keberadaannya, dan martabatnya sebagai pemikiran dan tindakan manusia yang tertinggi. Orientasi kedua pendidikan multikultural adalah kebersamaan (co-operation). Kebersamaan di sini dipahami sebagai sikap seseorang terhadap orang lain, atau sikap seseorang terhadap kelompok dan komunitas. Dan orientasi ketiga pendidikan multikultural, yakni kedamaian (peace) merupakan cita-cita semua orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Kedamaian hidup dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan dengan cara menghindari terjadinya kekerasan, peperangan, dan tindakan mementingkan diri sendiri, serta dengan cara menghadirkan keadilan. Dalam pengertian ini, pendidikan multikultural bertugas untuk membentuk mindset peserta didik akan pentingnya membangun kehidupan sosial yang harmonis tanpa adanya permusuhan, konflik, kekerasan, dan sikap mementingkan diri sendiri.
3. Mengembangkan Sikap Mengakui, Menerima, dan Menghargai Keragaman
Untuk mengembangkan orientasi hidup kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat yang majemuk diperlukan sikap sosial yang positif. Sikap sosial positif ini menurut Donna M. Gollnick dan Lawrence A. Bloom, antara lain mengambil bentuk kesediaan untuk mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Pendidikan multikultural memiliki perhatian kuat terhadap pengembangan sikap-sikap sosial yang positif tersebut. Dengan demikian, pendidikan multikultural menolak sikap-sikap sosial yang cenderung rasial, stereotip, dan berprasangka buruk kepada orang atau kelompok lain yang berbeda suku, ras, bahasa, budaya, dan agama.
C. KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pembahasan tentang kurikulum pendidikan multikultural difokuskan pada empat hal, yaitu kompetensi, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi. Empat hal tersebut termasuk komponen inti dari kurikulum yang diterapkan oleh pendidikan multikultural. Keempat komponen tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
1. Kompetensi dalam Pendidikan Multikultural
Kompetensi pendidikan multikultural menurut pendapat Donna M. Gollnick dan Philip C. Chin adalah “peserta didik memiliki perspektif multikultural melalui program dan kegiatan pendidikan”. Perspektif tersebut penting dimiliki oleh peserta didik untuk meningkatkan enam hal, yaitu:
1) Konsep diri dan pemahaman diri yang baik
2) Sensitivitas dan memahami pihak lain
3) Kemampuan untuk merasakan dan memahami keragaman, seperti konflik, interpretasi nasioal, kultural, dan perspektif tentang peristiwa, nilai, dan perilaku
4) Kemampuan untuk membuat keputusan dan melakukan aksi yang efektif berdasarkan analisis dan sintesis multikultural
5) Pemikiran terbuka terhadap isu-isu yang berkembang
6) Pemahaman terhadap proses stereotip rendah, serta bangga terhadap diri sendiri dan menghargai semua orang
Menurut L. H. Ekstrand, kompetensi pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan sikap (attitude), pengetahuan (cognitive), dan pembelajaran sikap (instructional). Sedangkan menurut James Lynch, pendidikan multikultural harus berorientasi pada dua aspek, yaitu penghargaan terhadap orang lain (respect for others), dan penghargaan terhadap diri sendiri (respect for self). Kedua orientasi kompetensi pendidikan multikultural ini penting untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan multikultural, karena mengingat pengetahuan tentang kelompok etnik dan kultural yang terbatas sering menimbulkan perbedaan yang negatif. Dalam kaitan ini, kurikulum pendidikan multikultural diharapkan membantu peserta didik untuk mengembangkan penghargaan terhadap keberadaan kelompok etnik dan kultural di masyarakat, agar tumbuh perspektif multikultural di kalangan peserta didik.
Dari rumusan-rumusan kompetensi pendidikan multikultural di atas jika dilihat dari tahapan pengembangan kurikulum dapat dikategorikan ke dalam tahap perencanaan kurikulum. Menurut Mark K. Smith, perencanaan kurikulum memuat kompetensi yang akan dicapai, yaitu terjadinya perubahan perilaku peserta didik. Perubahan perilaku peserta didik ini dapat berupa kemampuan, sikap, kebiasaa, penghargaan, dan pengetahuan. Rumusan kompetensi kurikulum tersebut umumnya didokumentasikan dalam bentuk dokumen kurikulum.
2. Materi dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Komponen inti kurikulum yang lain adalah materi. Menurut James A. Banks, kurikulum pendidikan multikultural yang berorientasi pada materi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi multikultural ke dalam kurikulum. Materi yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum multikultural adalah isu, tema, topik, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme. Dengan materi yang disebutkan tersebut, diharapka peserta didik akan memperoleh sejumlah pengetahuan tentang multikulturalisme. Selain mendapat pengetahuan tentang multikulturalisme, peserta didik akan memiliki keterampilan-keterampilan dasar dalam membaca, berfikir, dan membuat keputusan, terutama dalam pembelajaran tentang isu-isu sosial yang muncul karena rasisme, dehumanisasi, konflik ras, serta pilihan gaya hidup etnik dan kultural, sebagai akibat dari hubungan antar kelompok yang tidak setara, seperti antara kelompok mayoritas dengan minoritas.
Alternatif tema, topik, isu, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme yang menurut Golnick dan Chinn, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum multikultural yang cukup mempunyai alasan bila dilihat dari 4 hal. Pertama, topik, isu, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme dapat diakses oleh semua kelompok kultural peserta didik di sekolah, karena materi terdapat dalam topik, isu, dan konsep-konsep di atas sangat relevan, inklusif, serta merefleksikan pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan oleh semua kelompok kultural peserta didik di sekolah. Kedua, topik, isu, dan konsep-konsep di atas relevan dengan latar belakang kultural dan sosial semua peserta didik, karena materinya merefleksikan kesadaran peserta didik akan keragaman etnik dan kultural.
Tentang materi, pendidik atau sekolah menyiapkan buku-buku teks untuk pembelajaran yang sesuai dengan data yang riil dengan menggunakan perspektif budaya mayoritas dan mengabaikan budaya minoritas.
3. Proses Pembelajaran dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Menurut Mark. K. Smith, ada tiga karakteristik bagi kurikulum pendidikan yang berorientasi pada proses. Pertama, menjadikan ruang kelas sebagai interaksi antara pendidik dan peserta didik serta antar peserta didik secara edukatif dan demokatis. Kedua, memerlukan adanya setting dan layout ruang kelas yang dinamis, agar proses komunikasi dan interaksi edukatif antar peserta didik berlangsung dengan mudah. Ketiga, menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam pembelajaran, karena menuntut perubahan cara pandang dari kegiatan pengajaran ke kegiatan pembelajaran. Dari segi proses ini, strategi pembelajarannya sangat dipentingkan dalam pendidikan multikultural.
Dengan gaya pengajaran yang demokratis, para pendidik dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain pera, observasi, dan penanganan kasus. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dapat menempatkan antara pendidik dan peserta didik memiliki status yang setara, karena masing-masing dari mereka juga anggota dari komunitas kelas yang setara. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi pendidik dan peserta didik.
4. Evaluasi dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Untuk mengukur keberhasilan pencapaian kompetensi pendidikan multikultural, diperlukan adanya evaluasi. Dalam evaluasi dalam pendidikan multikultural, menggunakan teknik studi kasus, pemecahan masalah, kinerja, pengamatan, dan bermain peran. Instrumen yang digunakan dalam pengamatan adalah check list dan cacatan anekdot. Materi yang dijadikan bahan dalam evaluasi adalah isu, topik, dan tema yang terkait dengan multikulturalisme. Sementara itu, teknik observasi dapat digunakan oleh pendidik untuk mengamati model komunikasi yang digunakan oleh peserta didik dalam interaksi sosial sehari-hari di sekolah.
D. KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN
Berkaitan dengan kurikulum, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibebaskan menyusun dan melaksanakan kurikulum sendiri. Menurut Lukens-Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu:
1. Kurikulum Berbentuk Pendidikan Agama Islam
Dalam dunia pesantren, pengajaran yang dilakukan sebagian besar dengan pengajian atau ngaji. Ada dua tingkatan untuk mengaji ini. Tingkatan yang pertama berkaitan dengan bagaimana belajar membaca teks-teks Arab, terutama adalah Al-Qur’an. Tingkatan ini merupakan tingkatan awal dan harus dikuasai oleh semua santri. Sedangkan tingkatan yang kedua yaitu para santri belajar kitab-kitab klasik yang dibimbing oleh kyai. Kitab kuning termasuk referensi dan merupakan salah satu dari kurikulum pesantren dalam sistem pendidikan pesantren. Ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan oleh seorang kyai, maka pelajaran tersebut termasuk bagian dari kurikulum yaitu berkisar pada ilmu pengetahuan agama.
2. Kurikulum Berbentuk Pengalaman dan Pendidikan Moral
Pesantren menenempatkan banyak kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan moral maupun pengalaman. Kegiatan-kegiatan yang ditekankan dalam pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap rukun iman. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang diajarkan pada saat mengaji. Nilai-nilai moral yang diajarkan dalam pesantren diantaranya adalah kesederhanaan, persaudaraan islam, keikhlasan, dan kemandirian.
3. Kurikulum Berbentuk Sekolah dan Pendidikan Umum
Dalam sekolah, biasanya kurikulumnya cenderung sekuler. Maksudnya jam untuk pelajaran agama hanya diberikan 2 jam pelajaran untuk setiap minggunya. Berbeda dengan kurikulum madrasah yang memuat 70% pendidikan agama dan 30% untuk pendidikan umum. Jadi, kurikulum madrasah dikatakan memadukan kurikulum yang sekuler dan agamis. Dengan pengadopsian kurikulum sekolah, maka sekarang pesantren banyak yang tidak hanya sekedar belajar dari kitab-kitab saja. Namun, buku islam kontemporer dengan berbahasa Indonesia juga sudah memasuki kalangan pesantren. Adanya buku kontemporer tersebut, diharapkan para santri dapat memahami dan memandang permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Tidak hanya dilihat dari kitab kuning saja, melainkan perspektif dari buku kontemporer.
4. Kurikulum Berbentuk Keterampilan dan Kursus
Pesantren membentuk kurikulum ini melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kurikulum ini diberlakukan di pesantren karena ada dua alasan. Yang pertama yaitu alasan politis. Pesantren memberikan pendidikan keterampilan kursus kepada santrinya berarti merespons seruan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dilihat dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa hubungan pemerintahan dan pesantren berjalan dengan harmonis. Sementara itu, dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah calin santri yang memilih pesantren-pesantren modern yang terpadu dengan alasan ada keterampilan di dalamnya.
E. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai pendidikan multikultural, bahwa yang dimaksud pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya peserta didik. Adapun konsep pendidikan multikultural tersebut mampu memberikan kesempatan yang sama kepada peserta didik dengan berbagai keragaman tanpa memandang apapun itu termasuk gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas. Semua peserta didik memperoleh hak dan perlakuan yang sama dari sekolah tanpa memandang perbedaan latar belakangnya.
Di dalam pendidikan multikultural seharusnya juga mampu menanamkan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural yang dapat dikembangkan melalui rumusan tujuan, materi dan metode dalam pembelajaran.
Jika pada suatu pendidikan itu ditanamkan sikap menghargai nilai-nilai multikultural maka dalam pendidikan tersebut berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan, kedamaiaan, mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman.
Dalam prespektif Islam pendidikan ini ternyata sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Quran yaitu QS. QS. Asy-Syura 42: 38, QS. Al-Hadid 57: 25, dan QS. Al-A’raf 7: 181. Dan sudah banyak sekolah/madrasah bahkan pesantren yang dalam proses pembelajarannya terdapat banyak yang menerapkan nilai-nilai multikultural. Karena sekolah/madrasah bahkan pesantren bukan hanya ingin mencapai tujuan sebagai lembaga pendidikan saja, melainkan untuk menjadikan peserta didik agar dapat memahami makna-makna kehidupan bersosial.
Secara terminologi pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran Agama Islam dan di dukung asrama sebagai tempat tinggal santri.
Pesantren sendiri memiliki tujuan pendidikan yaitu menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah Rasul), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.
Selain itu, pesantren juga dituntut untuk berusaha mengembalikan citra serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Dalam misi ini, terselip harapan agar pesantren menjadi tempat rujukan masyarakat dalam menjawab permasalahan-permasalahan keseharian mereka berdasarkan perspektif dan pandangan agama.
Atas dasar tersebut tidak jarang pesantren/pondok pesantren yang dalam proses pendidikan atau pembelajarannya menggunakan kurikulum pendidikan multikultural yang berdasar kepada pelaksanaan nilai-nilai multikultural sendiri. Sebagai contoh, pondok pesantren Gontor dan pondok pesantren Assalam.
Dalam konteks pondok pesantren pendidikan multikultural sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikultural ini diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pengajaran di pondok pesantren yang didominasi bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikultural peserta didik (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan harus diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.
Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya pendidikan multikultural. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satu contohnya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pesantren, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.Hal ini juga ditujukan untuk memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya.
Jadi intinya adalah dalam pesantren, pendidikan multikultural secara prinsip sudah di terapkan dalam sistem pesantrennya meliputi kurikulum formal pendidikannya dan proses dalam keseharian santri sendiri. Dengan sistem yang ada, pondok pesantren sangat potensial mengembangkan pendidikan berwawasan multikultural, dan layak menjadi contoh sukses implementasi pendidikan multikultural.
F. CONTOH PRAKTEK PENDIDKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Perlu kita ketahui bahwa di era perkembagan zaman ini yang dinamakan pesantren telah menjamur di Nusantara. Pesantren dibagi menjadi dua jenis yaitu pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Pesantren tradisional ini cenderung lebih mengkhususkan diri dalam mengkaji ilmu-ilmu agama, sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Jadi yang dinamakan pesantren modern ini selain bertujuan mengkaji ilmu-ilmu agama juga mengkaji ilmu sosial atau kemasyarakatan. Dalam pesantren modern, pendidikan multikultural menjadi konteks dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pembelajaran formal melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari para santri (non-formal).
Contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya formal, antara lain:
1. Adanya pembelajaran pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum pesantren.
Model pertama adalah model implementasi kurikulum pesantren multikultural mengharuskan materi ajar yang digunakan memuat nilai demokratis, solidaritas, kebersamaan, kasih sayang dan memaafkan, serta perdamaian dan keadilan dalam Islam.
Salah satu contohnya adalah materi ajar yang disampaikan kepada peserta didik PPMI Assalam yaitu nilai demokrasi, nilai solidaritas, nilai kebersamaan, nilai kasih sayang, dan memaafkan, serta perdamaian dan toleransi yang dimuat dalam topik Adab al-ukhuwah al-Islamiyah. Akan tetapi dalam topik tersebut tampak jelas bahwa persaudaraan yang dimaksud hanya terbatas pada umat Islam, sedangkan untuk umat non-islam tidak diperlukan persaudaraan melainkan hanya diperlukan persatuan dan kasih sayang. Selain itu di pondok pesantren yang lain juga mengajarkan bidang studi Dirasah Islamiyah yang didalamya terdapat materi khusus Muqaranat al-Adiyan (Perbandingan agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena, dan dinamika keagamaan di dunia materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui saat hidup bermasyarakat kelak.
Model kedua, model implementasi kurikulum pesantren multikultural menghendaki strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam pembelajaran secara demokratis dan menyenangkan.
Ada beberapa alternatif strategi pembelajaran yang bisa digunakan yaitu ceramah interaktif, pembelajran aktif, pembelajaran kolaboratifm diskusi kelompok, bermain peran, dan keteladanan. Strategi-strategi ini sangat relevan untuk menyampaikan materi ajar yang sarat dengan nilai, seperti keragaman, nilai perdamaina, nilai demokrati, dan nilai keadilan.
2. Pemilihan tempat belajar yang sering mempertimbangkan aspirasi dan usulan dari peserta didik (perwujudan dari sikap demokratis)
Guru yang bijak mengalihkan tempat belajar di luar kelas, yaitu di taman, laboratorium, perpustakaan, masjid atau tempat-tempat lain yang alami sesuai dengan kebutuhan fisik dan psikologis peserta didik sehingga dengan sikap demokratis para guru tersebut berimplikasi pada terciptanya pembelajaran yang menyenangkan. Selain itu guru juga mampu mengamati sikap demokratis peserta didiknya dengan cara memberikan peluang untuk membagi kelompok, mengajukan pertanyaan, mempresentasikan materi kepada sesama peserta didik. Adapun keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran diberikan secara adil tanpa melihat asal-usul daerah mereka.
3. Penggunaan metode pembelajaran yang beragam
Keberagaman metode pembelajaran seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan praktik jika dapat diterapkan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran maka akan terbentuk suasana yang apresiatif dan sikap saling mendukung satu sama lain. Sikap seperti ini menunjukan bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang saling memadai. Hal ini merupakan salah satu ciri pendidikan multikultural yaitu mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keberagaman budaya.
4. Nilai multikultural dalam evaluasi pembelajaran adalah nilai keragaman
Artinya evaluasi pembelajaran yang digunakan di Assalaam menggunakan bragam jenis evaluasi, dilihat dari pelaksanaannya ada empat jenis evaluasi pembelajaran yaitu ulangan umum mid semester, ulangan umum semester, ulangan harian, dan ulangan blok. Keberagaman evaluasi pembelajaran ini diharapkan member peluang kepada peserta didik memperoleh hasil yang komprehensif dan kontekstual.
Contoh prektek pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya non-formal, antara lain:
1. Sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan satu disiplin pondok.
Adanya penempatan pemondokan santri dalam sebuah asrama. Dalam pondok pesantren modern tidak diberlakukan penempatan permanen santri dalam asrama. Hal ini dilaksanakan guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keberagaman. Seperti pelaksanaan yang dilakukan dalam pondok pesantren Al-Amien Prenduan dan pondok modern Gontor yang juga menetapkan regulasi agar setap satu tahun sekali diharuskan ada perpindahan asrama. Pengaturan pemindahan ini telah diatur oleh pengasuh pondok sedemikian rupa dengan tujuan agar santri memiliki wawasan aneka budaya dan tradisi yang luas. Biasanya dalam satu kamar tidak boleh ada lebih dari 3 orang yang berasal dari daerah yang sama dengan maksud untuk melebur semangat kedaerahan ke dalam semangat uang lebih universal. Penerapan sistem ini tidak menafikan unsur daerah yang dibawa oleh masing-masing santri karena sebenarnya unsur ini telah diakomodir dalam kegiatas kedaerahan yang disebut dengan konsulat yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diarahkan untuk tidak fanatik kedaerahan.
2. Pendidikan toleransi atas perbedaan dalam pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan ide.
G. IMPLIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai multikulturalisme. Dalam konteks modernitas pesantren ini mulai muncul diawal abad ke-20. Modernisasi pesantren semakin nampak pasca Indonesia merdeka dan telah menjadi trend dikalangan umat Islam, yang memandang pesantren modern adalah lembaga pendidikan yang diyakini mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kebutuhan hidup masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme dalam pesantren diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Dalam bidang non-formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya yaitu aturan diberlakukannya penempatan santri dalam asrama yang bersifat heterogen. Hal ini guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman, memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhada aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya. Orientasi kemanusiaan dalam pendidikan multikultural ini relevan dengan konsep hablum min annas yang menurut Abdul Aziz Sachedina, menempatkan manusia pada dua posisi. Posisi pertama bahwa manusia merupakan makhluk terbaik (ahsanu taqwim) diantara makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini. Adapun posisi kedua adalah bahwa manusia harus tunduk kepada hukum Allah dalam rangka memelihara keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.
Pendidikan toleransi atas perbedaan juga kental diajarkan dalam sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan suatu ide. Dengan intensitas pendidikan yang selama 24 jam ini sangat efektif untuk memberikan pembelajaran dan pengajaran kepada santri dan tidak hanya sebatas pada ruang kelas saja. Dalam perspektif Islam, nilai kebersamaan ini relevan dengan konsep saling mengenal (ta’aruf) dan saling menolong (ta’awun) dan hal ini dapat dijadikan landasan etik untuk membangun hubungan sosial yang baik dalam masyarakat yang majemuk.
Pendidikan multikultural di pesantren juga tercermin dari muatan atau isi kurikulum yang mengajarkan beragam keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus seperti (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan ditemui para santri pada saat hidup bermasyarakat kelak.
Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru biasanya digelar seremoni besar dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas budaya dari semua elemen santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan ini ditujukan untuk menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya dalam lingkungan yng akan mereka huni.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan:
Secara etomologis pendidikan endidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya peserta didik. Sedangkan secara terminlogis definisi pendidikan multikultural dikemukakan oleh beberapa tokoh, salah satunya oleh James A. Banks yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas.
Karakteristik adalah sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Sonia Nieto menyatakan bahwa ada 7 karakteristik dari pendidikan multikultural, yakni antiracist education (pendidikan yang tidak membenci ras orang lain), basic education (pendidikan dasar), important for all students (penting bagi semua sisawa), pervasive (luas), education for sosial justice (pendidikan untuk keadilan sosial), education as process (pendidikan adalah suatu proses), dan critical pedagogy (pendidikan kritis).
Pembahasan tentang kurikulum pendidikan multikultural difokuskan pada empat hal, yaitu kompetensi, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi. Empat hal tersebut termasuk komponen inti dari kurikulum yang diterapkan oleh pendidikan multikultural. Berkaitan dengan kurikulum, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibebaskan menyusun dan melaksanakan kurikulum sendiri. Menurut Lukens-Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu kurikulum berbentuk pendidikan agama islam, kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral, kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum, dan kurikulum berbentuk keterampilan dan kursus.
Dalam konteks pondok pesantren pendidikan multikultural sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikultural ini diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya pendidikan multikultural. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satu contohnya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri.
Adanya pembelajaran pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum pesantren merupakan salah satu contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya formal. Sedangkan sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan satu disiplin pondok merupakan salah satu contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya non-formal.
Salah satu implikasi pendidikan multikultural di pesantren tercermin dari muatan atau isi kurikulum yang mengajarkan beragam keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus seperti (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan ditemui para santri pada saat hidup bermasyarakat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Anin Nurhayati. Inovasi Kurikulum: Telaah terhadap Perkembangan Kuriulum Pendidikan Pesantren. 2010. Yogyakarta: Teras
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka
H.A.R Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. 2004. Jakarta: Rineka Cipta
Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. 1991. Bandung: Mizan
Qomar Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratis Institusi. Jakarta: Erlangga
(Musa Asy’arie. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa)http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546 diakses pada hari Senin, 14 Maret 2016 pukul 12.30 WIB
http://m.kompasiana.com/minten_ayu_larassati/karakteristik-pendidikan-multikultural_55290346f17e611b2c8b45be diakses pada hari Senin, 14 Maret 2016 pukul 12.35 WIB
https://vivixtopz.wordpress.com/artikel-islam/pesantren-modern-dan-pendidikan-multikulturalisme/ (diakses tanggal 4 maret 2016 jam 09.50 WIB)
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN MULTKULTURAL
Secara etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Menururt Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Sementara itu, kata “multikultural” merupakan kata sifat dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni multi dan culture. Secara umum, kata “multi” berarti banyak, ragam, dan atau aneka. Sedangkan kata “culture” dalam bahasa Inggris memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan dan atau pemeliharaan. Sehingga, multikultural dapat diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang seseorang. Dengan demikian, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya peserta didik.
Secara terminologis, definisi pendidikan multikultural dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain oleh James A. Banks yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas. Dengan demikian, apapun latar belakang peserta didik yang berupa gender, kelas sosial, etnik, agama, dan ras mereka akan memperoleh hak dan perlakuan yang sama dari sekolah.
Sedangkan menurut Ruriko Okada, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural. Dengan kata lain, kemampuan peserta didik dalam mengenal, menerima, dan menghargai keragaman kultural dapat dikembangkan melalui rumusan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
Pendapat berkaitan dengan definisi pendidikan multikultural juga dikemukakan oleh Musa Asy’ari, menurut beliau pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
B. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Karakteristik adalah sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Menurut H.A.R Tilaar, pendidikan multikultural biasanya memiliki ciri tujuanya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya (berperadaban)".
Sonia Nieto, seorang profesor, penulis, sekaligus guru di bidang multikulturalisme, mendefinisikan karakteristik pendidikan multikultural dalam konteks sosio-politik, ditujukan kepada masyarakat dan proses pendidikan, bahwa elastisitas (kemampuan) dalam pendidikan sebagai bentuk tetap dan statis. Ada tujuh karakteristik yang disampaikan oleh Nieto, yaitu:
1. Antiracist Education (Pendidikan yang Tidak Membenci Ras Orang Lain)
Pendidikan anti-rasis membuat anti-diskriminasi eksplisit dalam kurikulum dan mengajarkan siswa keterampilan untuk memerangi rasisme dan bentuk lain dari penindasan.
2. Basic Education (Pendidikan Dasar)
Hak dasar dari semua siswa untuk terlibat dalam inti dan akademisi adalah sebuah kebutuhan mendesak bagi semua siswa.
3. Important for All Students (Penting bagi Semua Siswa)
Dalam hal ini semua siswa berhak dan membutuhkan pendidikan yang inklusif dan ketat.
4. Pervasive (Luas)
Pendidikan multikultural menekankan pendekatan yang menembus seluruh pengalaman pendidikan, termasuk iklim sekolah, lingkungan fisik, kurikulum, dan hubungan terhadap sesama.
5. Education for Sosial Justice (Pendidikan untuk Keadilan Sosial)
Siswa diajak secara langsung untuk melakukan tindakan sosial di lingkungannya.
6. Education as Process (Pendidikan adalah Suatu Proses)
Siswa dan institusi pendidikan dalam melakukan proses pendidikan melibatkan masyarakat (komite sekolah) dalam meningkatkan prestasi belajar, lingkungan belajar, preferensi belajar siswa dan variabel budaya.
7. Critical Pedagogy (Pendidikan Kritis)
Dalam berfikir kritis siswa dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keluarga, sekolah, artistik, dan pengalaman pendidikan. Siswa dituntut untuk melakukan perubahan pemikiran dari kesadaran pasif, magis menuju kesadaran kritis melalui tindakannya.
Selain pendapat dari Sonia Nieto, ada beberapa pihak yang mengemukakan bahwa karakteristik pendidikan multikultural dibagi menjadi tiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah Aly. Ketiga karakteristik tersebut, antara lain:
1. Berprinsip pada Demokrasi, Kesetaraan, dan Keadilan
Prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang mendasari pendidikan mutikultural, baik pada level ide, proses, maupun gerakan. Ketiga prinsip ini menggarisbawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Karakteristik pendidikan multikultural yang berprinsip kepada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini agaknya sejalan dengan program UNESCO tentang education for all (EFA), yaitu program pendidikan yang memberikan peluang yang sama kepada semua anak yang memperoleh pendidikan. Bagi UNESCO, EFA merupakan jantung kegiatan utama dari kegiatan pendidikan yang dilakukan selama ini.
Dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini ternyata kompatibel dengan doktrin-doktrin Islam dan pengalaman historis umat Islam. Adapun doktrin Islam yang mengandung prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, antara lain ditemukan dalam QS. Asy-Syura 42: 38, QS. Al-Hadid 57: 25, dan QS. Al-A’raf 7: 181. Menurut Latif B. Ibrahim, ketiga ayat Al-Qur’an tersebut memberikan landasan moral dan etik bahwa setiap orang memiliki hak untuk memperoleh perlakuan yang adil, baik dalam soal ucapan, sikap, maupun perbuatan. Perlakuan adil di sini berkaitan dengan interaksi sosial antara orang muslim dengan non-muslim.
2. Berorientasi kepada Kemanusiaan, Kebersamaan, dan Kedamaian
Untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di masyarakat yang heterogen diperlukan orientasi hidup yang universal. Di antara orientasi hidup yang universal adalah kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Orientasi hidup yang universal ini merupakan titik orientasi bagi pendidikan multikultural. Dengan demikian, pendidikan multikultural menentang adanya praktik-praktik hidup yang menodai nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian seperti kekerasan, perusuhan, konflik, dan individualistik.
Kemanusiaan (humanity) yang dijadikan titik orientasi oleh pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai nilai yang menempatkan peningkatan pengembangan manusia, keberadaannya, dan martabatnya sebagai pemikiran dan tindakan manusia yang tertinggi. Orientasi kedua pendidikan multikultural adalah kebersamaan (co-operation). Kebersamaan di sini dipahami sebagai sikap seseorang terhadap orang lain, atau sikap seseorang terhadap kelompok dan komunitas. Dan orientasi ketiga pendidikan multikultural, yakni kedamaian (peace) merupakan cita-cita semua orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Kedamaian hidup dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan dengan cara menghindari terjadinya kekerasan, peperangan, dan tindakan mementingkan diri sendiri, serta dengan cara menghadirkan keadilan. Dalam pengertian ini, pendidikan multikultural bertugas untuk membentuk mindset peserta didik akan pentingnya membangun kehidupan sosial yang harmonis tanpa adanya permusuhan, konflik, kekerasan, dan sikap mementingkan diri sendiri.
3. Mengembangkan Sikap Mengakui, Menerima, dan Menghargai Keragaman
Untuk mengembangkan orientasi hidup kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat yang majemuk diperlukan sikap sosial yang positif. Sikap sosial positif ini menurut Donna M. Gollnick dan Lawrence A. Bloom, antara lain mengambil bentuk kesediaan untuk mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Pendidikan multikultural memiliki perhatian kuat terhadap pengembangan sikap-sikap sosial yang positif tersebut. Dengan demikian, pendidikan multikultural menolak sikap-sikap sosial yang cenderung rasial, stereotip, dan berprasangka buruk kepada orang atau kelompok lain yang berbeda suku, ras, bahasa, budaya, dan agama.
C. KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pembahasan tentang kurikulum pendidikan multikultural difokuskan pada empat hal, yaitu kompetensi, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi. Empat hal tersebut termasuk komponen inti dari kurikulum yang diterapkan oleh pendidikan multikultural. Keempat komponen tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
1. Kompetensi dalam Pendidikan Multikultural
Kompetensi pendidikan multikultural menurut pendapat Donna M. Gollnick dan Philip C. Chin adalah “peserta didik memiliki perspektif multikultural melalui program dan kegiatan pendidikan”. Perspektif tersebut penting dimiliki oleh peserta didik untuk meningkatkan enam hal, yaitu:
1) Konsep diri dan pemahaman diri yang baik
2) Sensitivitas dan memahami pihak lain
3) Kemampuan untuk merasakan dan memahami keragaman, seperti konflik, interpretasi nasioal, kultural, dan perspektif tentang peristiwa, nilai, dan perilaku
4) Kemampuan untuk membuat keputusan dan melakukan aksi yang efektif berdasarkan analisis dan sintesis multikultural
5) Pemikiran terbuka terhadap isu-isu yang berkembang
6) Pemahaman terhadap proses stereotip rendah, serta bangga terhadap diri sendiri dan menghargai semua orang
Menurut L. H. Ekstrand, kompetensi pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan sikap (attitude), pengetahuan (cognitive), dan pembelajaran sikap (instructional). Sedangkan menurut James Lynch, pendidikan multikultural harus berorientasi pada dua aspek, yaitu penghargaan terhadap orang lain (respect for others), dan penghargaan terhadap diri sendiri (respect for self). Kedua orientasi kompetensi pendidikan multikultural ini penting untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan multikultural, karena mengingat pengetahuan tentang kelompok etnik dan kultural yang terbatas sering menimbulkan perbedaan yang negatif. Dalam kaitan ini, kurikulum pendidikan multikultural diharapkan membantu peserta didik untuk mengembangkan penghargaan terhadap keberadaan kelompok etnik dan kultural di masyarakat, agar tumbuh perspektif multikultural di kalangan peserta didik.
Dari rumusan-rumusan kompetensi pendidikan multikultural di atas jika dilihat dari tahapan pengembangan kurikulum dapat dikategorikan ke dalam tahap perencanaan kurikulum. Menurut Mark K. Smith, perencanaan kurikulum memuat kompetensi yang akan dicapai, yaitu terjadinya perubahan perilaku peserta didik. Perubahan perilaku peserta didik ini dapat berupa kemampuan, sikap, kebiasaa, penghargaan, dan pengetahuan. Rumusan kompetensi kurikulum tersebut umumnya didokumentasikan dalam bentuk dokumen kurikulum.
2. Materi dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Komponen inti kurikulum yang lain adalah materi. Menurut James A. Banks, kurikulum pendidikan multikultural yang berorientasi pada materi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi multikultural ke dalam kurikulum. Materi yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum multikultural adalah isu, tema, topik, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme. Dengan materi yang disebutkan tersebut, diharapka peserta didik akan memperoleh sejumlah pengetahuan tentang multikulturalisme. Selain mendapat pengetahuan tentang multikulturalisme, peserta didik akan memiliki keterampilan-keterampilan dasar dalam membaca, berfikir, dan membuat keputusan, terutama dalam pembelajaran tentang isu-isu sosial yang muncul karena rasisme, dehumanisasi, konflik ras, serta pilihan gaya hidup etnik dan kultural, sebagai akibat dari hubungan antar kelompok yang tidak setara, seperti antara kelompok mayoritas dengan minoritas.
Alternatif tema, topik, isu, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme yang menurut Golnick dan Chinn, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum multikultural yang cukup mempunyai alasan bila dilihat dari 4 hal. Pertama, topik, isu, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme dapat diakses oleh semua kelompok kultural peserta didik di sekolah, karena materi terdapat dalam topik, isu, dan konsep-konsep di atas sangat relevan, inklusif, serta merefleksikan pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan oleh semua kelompok kultural peserta didik di sekolah. Kedua, topik, isu, dan konsep-konsep di atas relevan dengan latar belakang kultural dan sosial semua peserta didik, karena materinya merefleksikan kesadaran peserta didik akan keragaman etnik dan kultural.
Tentang materi, pendidik atau sekolah menyiapkan buku-buku teks untuk pembelajaran yang sesuai dengan data yang riil dengan menggunakan perspektif budaya mayoritas dan mengabaikan budaya minoritas.
3. Proses Pembelajaran dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Menurut Mark. K. Smith, ada tiga karakteristik bagi kurikulum pendidikan yang berorientasi pada proses. Pertama, menjadikan ruang kelas sebagai interaksi antara pendidik dan peserta didik serta antar peserta didik secara edukatif dan demokatis. Kedua, memerlukan adanya setting dan layout ruang kelas yang dinamis, agar proses komunikasi dan interaksi edukatif antar peserta didik berlangsung dengan mudah. Ketiga, menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam pembelajaran, karena menuntut perubahan cara pandang dari kegiatan pengajaran ke kegiatan pembelajaran. Dari segi proses ini, strategi pembelajarannya sangat dipentingkan dalam pendidikan multikultural.
Dengan gaya pengajaran yang demokratis, para pendidik dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain pera, observasi, dan penanganan kasus. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dapat menempatkan antara pendidik dan peserta didik memiliki status yang setara, karena masing-masing dari mereka juga anggota dari komunitas kelas yang setara. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi pendidik dan peserta didik.
4. Evaluasi dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Untuk mengukur keberhasilan pencapaian kompetensi pendidikan multikultural, diperlukan adanya evaluasi. Dalam evaluasi dalam pendidikan multikultural, menggunakan teknik studi kasus, pemecahan masalah, kinerja, pengamatan, dan bermain peran. Instrumen yang digunakan dalam pengamatan adalah check list dan cacatan anekdot. Materi yang dijadikan bahan dalam evaluasi adalah isu, topik, dan tema yang terkait dengan multikulturalisme. Sementara itu, teknik observasi dapat digunakan oleh pendidik untuk mengamati model komunikasi yang digunakan oleh peserta didik dalam interaksi sosial sehari-hari di sekolah.
D. KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN
Berkaitan dengan kurikulum, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibebaskan menyusun dan melaksanakan kurikulum sendiri. Menurut Lukens-Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu:
1. Kurikulum Berbentuk Pendidikan Agama Islam
Dalam dunia pesantren, pengajaran yang dilakukan sebagian besar dengan pengajian atau ngaji. Ada dua tingkatan untuk mengaji ini. Tingkatan yang pertama berkaitan dengan bagaimana belajar membaca teks-teks Arab, terutama adalah Al-Qur’an. Tingkatan ini merupakan tingkatan awal dan harus dikuasai oleh semua santri. Sedangkan tingkatan yang kedua yaitu para santri belajar kitab-kitab klasik yang dibimbing oleh kyai. Kitab kuning termasuk referensi dan merupakan salah satu dari kurikulum pesantren dalam sistem pendidikan pesantren. Ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan oleh seorang kyai, maka pelajaran tersebut termasuk bagian dari kurikulum yaitu berkisar pada ilmu pengetahuan agama.
2. Kurikulum Berbentuk Pengalaman dan Pendidikan Moral
Pesantren menenempatkan banyak kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan moral maupun pengalaman. Kegiatan-kegiatan yang ditekankan dalam pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap rukun iman. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang diajarkan pada saat mengaji. Nilai-nilai moral yang diajarkan dalam pesantren diantaranya adalah kesederhanaan, persaudaraan islam, keikhlasan, dan kemandirian.
3. Kurikulum Berbentuk Sekolah dan Pendidikan Umum
Dalam sekolah, biasanya kurikulumnya cenderung sekuler. Maksudnya jam untuk pelajaran agama hanya diberikan 2 jam pelajaran untuk setiap minggunya. Berbeda dengan kurikulum madrasah yang memuat 70% pendidikan agama dan 30% untuk pendidikan umum. Jadi, kurikulum madrasah dikatakan memadukan kurikulum yang sekuler dan agamis. Dengan pengadopsian kurikulum sekolah, maka sekarang pesantren banyak yang tidak hanya sekedar belajar dari kitab-kitab saja. Namun, buku islam kontemporer dengan berbahasa Indonesia juga sudah memasuki kalangan pesantren. Adanya buku kontemporer tersebut, diharapkan para santri dapat memahami dan memandang permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Tidak hanya dilihat dari kitab kuning saja, melainkan perspektif dari buku kontemporer.
4. Kurikulum Berbentuk Keterampilan dan Kursus
Pesantren membentuk kurikulum ini melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kurikulum ini diberlakukan di pesantren karena ada dua alasan. Yang pertama yaitu alasan politis. Pesantren memberikan pendidikan keterampilan kursus kepada santrinya berarti merespons seruan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dilihat dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa hubungan pemerintahan dan pesantren berjalan dengan harmonis. Sementara itu, dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah calin santri yang memilih pesantren-pesantren modern yang terpadu dengan alasan ada keterampilan di dalamnya.
E. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai pendidikan multikultural, bahwa yang dimaksud pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya peserta didik. Adapun konsep pendidikan multikultural tersebut mampu memberikan kesempatan yang sama kepada peserta didik dengan berbagai keragaman tanpa memandang apapun itu termasuk gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas. Semua peserta didik memperoleh hak dan perlakuan yang sama dari sekolah tanpa memandang perbedaan latar belakangnya.
Di dalam pendidikan multikultural seharusnya juga mampu menanamkan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural yang dapat dikembangkan melalui rumusan tujuan, materi dan metode dalam pembelajaran.
Jika pada suatu pendidikan itu ditanamkan sikap menghargai nilai-nilai multikultural maka dalam pendidikan tersebut berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan, kedamaiaan, mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman.
Dalam prespektif Islam pendidikan ini ternyata sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Quran yaitu QS. QS. Asy-Syura 42: 38, QS. Al-Hadid 57: 25, dan QS. Al-A’raf 7: 181. Dan sudah banyak sekolah/madrasah bahkan pesantren yang dalam proses pembelajarannya terdapat banyak yang menerapkan nilai-nilai multikultural. Karena sekolah/madrasah bahkan pesantren bukan hanya ingin mencapai tujuan sebagai lembaga pendidikan saja, melainkan untuk menjadikan peserta didik agar dapat memahami makna-makna kehidupan bersosial.
Secara terminologi pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran Agama Islam dan di dukung asrama sebagai tempat tinggal santri.
Pesantren sendiri memiliki tujuan pendidikan yaitu menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah Rasul), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.
Selain itu, pesantren juga dituntut untuk berusaha mengembalikan citra serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Dalam misi ini, terselip harapan agar pesantren menjadi tempat rujukan masyarakat dalam menjawab permasalahan-permasalahan keseharian mereka berdasarkan perspektif dan pandangan agama.
Atas dasar tersebut tidak jarang pesantren/pondok pesantren yang dalam proses pendidikan atau pembelajarannya menggunakan kurikulum pendidikan multikultural yang berdasar kepada pelaksanaan nilai-nilai multikultural sendiri. Sebagai contoh, pondok pesantren Gontor dan pondok pesantren Assalam.
Dalam konteks pondok pesantren pendidikan multikultural sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikultural ini diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pengajaran di pondok pesantren yang didominasi bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikultural peserta didik (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan harus diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.
Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya pendidikan multikultural. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satu contohnya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pesantren, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.Hal ini juga ditujukan untuk memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya.
Jadi intinya adalah dalam pesantren, pendidikan multikultural secara prinsip sudah di terapkan dalam sistem pesantrennya meliputi kurikulum formal pendidikannya dan proses dalam keseharian santri sendiri. Dengan sistem yang ada, pondok pesantren sangat potensial mengembangkan pendidikan berwawasan multikultural, dan layak menjadi contoh sukses implementasi pendidikan multikultural.
F. CONTOH PRAKTEK PENDIDKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Perlu kita ketahui bahwa di era perkembagan zaman ini yang dinamakan pesantren telah menjamur di Nusantara. Pesantren dibagi menjadi dua jenis yaitu pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Pesantren tradisional ini cenderung lebih mengkhususkan diri dalam mengkaji ilmu-ilmu agama, sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Jadi yang dinamakan pesantren modern ini selain bertujuan mengkaji ilmu-ilmu agama juga mengkaji ilmu sosial atau kemasyarakatan. Dalam pesantren modern, pendidikan multikultural menjadi konteks dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pembelajaran formal melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari para santri (non-formal).
Contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya formal, antara lain:
1. Adanya pembelajaran pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum pesantren.
Model pertama adalah model implementasi kurikulum pesantren multikultural mengharuskan materi ajar yang digunakan memuat nilai demokratis, solidaritas, kebersamaan, kasih sayang dan memaafkan, serta perdamaian dan keadilan dalam Islam.
Salah satu contohnya adalah materi ajar yang disampaikan kepada peserta didik PPMI Assalam yaitu nilai demokrasi, nilai solidaritas, nilai kebersamaan, nilai kasih sayang, dan memaafkan, serta perdamaian dan toleransi yang dimuat dalam topik Adab al-ukhuwah al-Islamiyah. Akan tetapi dalam topik tersebut tampak jelas bahwa persaudaraan yang dimaksud hanya terbatas pada umat Islam, sedangkan untuk umat non-islam tidak diperlukan persaudaraan melainkan hanya diperlukan persatuan dan kasih sayang. Selain itu di pondok pesantren yang lain juga mengajarkan bidang studi Dirasah Islamiyah yang didalamya terdapat materi khusus Muqaranat al-Adiyan (Perbandingan agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena, dan dinamika keagamaan di dunia materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui saat hidup bermasyarakat kelak.
Model kedua, model implementasi kurikulum pesantren multikultural menghendaki strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam pembelajaran secara demokratis dan menyenangkan.
Ada beberapa alternatif strategi pembelajaran yang bisa digunakan yaitu ceramah interaktif, pembelajran aktif, pembelajaran kolaboratifm diskusi kelompok, bermain peran, dan keteladanan. Strategi-strategi ini sangat relevan untuk menyampaikan materi ajar yang sarat dengan nilai, seperti keragaman, nilai perdamaina, nilai demokrati, dan nilai keadilan.
2. Pemilihan tempat belajar yang sering mempertimbangkan aspirasi dan usulan dari peserta didik (perwujudan dari sikap demokratis)
Guru yang bijak mengalihkan tempat belajar di luar kelas, yaitu di taman, laboratorium, perpustakaan, masjid atau tempat-tempat lain yang alami sesuai dengan kebutuhan fisik dan psikologis peserta didik sehingga dengan sikap demokratis para guru tersebut berimplikasi pada terciptanya pembelajaran yang menyenangkan. Selain itu guru juga mampu mengamati sikap demokratis peserta didiknya dengan cara memberikan peluang untuk membagi kelompok, mengajukan pertanyaan, mempresentasikan materi kepada sesama peserta didik. Adapun keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran diberikan secara adil tanpa melihat asal-usul daerah mereka.
3. Penggunaan metode pembelajaran yang beragam
Keberagaman metode pembelajaran seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan praktik jika dapat diterapkan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran maka akan terbentuk suasana yang apresiatif dan sikap saling mendukung satu sama lain. Sikap seperti ini menunjukan bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang saling memadai. Hal ini merupakan salah satu ciri pendidikan multikultural yaitu mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keberagaman budaya.
4. Nilai multikultural dalam evaluasi pembelajaran adalah nilai keragaman
Artinya evaluasi pembelajaran yang digunakan di Assalaam menggunakan bragam jenis evaluasi, dilihat dari pelaksanaannya ada empat jenis evaluasi pembelajaran yaitu ulangan umum mid semester, ulangan umum semester, ulangan harian, dan ulangan blok. Keberagaman evaluasi pembelajaran ini diharapkan member peluang kepada peserta didik memperoleh hasil yang komprehensif dan kontekstual.
Contoh prektek pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya non-formal, antara lain:
1. Sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan satu disiplin pondok.
Adanya penempatan pemondokan santri dalam sebuah asrama. Dalam pondok pesantren modern tidak diberlakukan penempatan permanen santri dalam asrama. Hal ini dilaksanakan guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keberagaman. Seperti pelaksanaan yang dilakukan dalam pondok pesantren Al-Amien Prenduan dan pondok modern Gontor yang juga menetapkan regulasi agar setap satu tahun sekali diharuskan ada perpindahan asrama. Pengaturan pemindahan ini telah diatur oleh pengasuh pondok sedemikian rupa dengan tujuan agar santri memiliki wawasan aneka budaya dan tradisi yang luas. Biasanya dalam satu kamar tidak boleh ada lebih dari 3 orang yang berasal dari daerah yang sama dengan maksud untuk melebur semangat kedaerahan ke dalam semangat uang lebih universal. Penerapan sistem ini tidak menafikan unsur daerah yang dibawa oleh masing-masing santri karena sebenarnya unsur ini telah diakomodir dalam kegiatas kedaerahan yang disebut dengan konsulat yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diarahkan untuk tidak fanatik kedaerahan.
2. Pendidikan toleransi atas perbedaan dalam pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan ide.
G. IMPLIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai multikulturalisme. Dalam konteks modernitas pesantren ini mulai muncul diawal abad ke-20. Modernisasi pesantren semakin nampak pasca Indonesia merdeka dan telah menjadi trend dikalangan umat Islam, yang memandang pesantren modern adalah lembaga pendidikan yang diyakini mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kebutuhan hidup masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme dalam pesantren diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Dalam bidang non-formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya yaitu aturan diberlakukannya penempatan santri dalam asrama yang bersifat heterogen. Hal ini guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman, memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhada aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya. Orientasi kemanusiaan dalam pendidikan multikultural ini relevan dengan konsep hablum min annas yang menurut Abdul Aziz Sachedina, menempatkan manusia pada dua posisi. Posisi pertama bahwa manusia merupakan makhluk terbaik (ahsanu taqwim) diantara makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini. Adapun posisi kedua adalah bahwa manusia harus tunduk kepada hukum Allah dalam rangka memelihara keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.
Pendidikan toleransi atas perbedaan juga kental diajarkan dalam sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan suatu ide. Dengan intensitas pendidikan yang selama 24 jam ini sangat efektif untuk memberikan pembelajaran dan pengajaran kepada santri dan tidak hanya sebatas pada ruang kelas saja. Dalam perspektif Islam, nilai kebersamaan ini relevan dengan konsep saling mengenal (ta’aruf) dan saling menolong (ta’awun) dan hal ini dapat dijadikan landasan etik untuk membangun hubungan sosial yang baik dalam masyarakat yang majemuk.
Pendidikan multikultural di pesantren juga tercermin dari muatan atau isi kurikulum yang mengajarkan beragam keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus seperti (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan ditemui para santri pada saat hidup bermasyarakat kelak.
Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru biasanya digelar seremoni besar dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas budaya dari semua elemen santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan ini ditujukan untuk menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya dalam lingkungan yng akan mereka huni.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan:
Secara etomologis pendidikan endidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya peserta didik. Sedangkan secara terminlogis definisi pendidikan multikultural dikemukakan oleh beberapa tokoh, salah satunya oleh James A. Banks yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas.
Karakteristik adalah sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Sonia Nieto menyatakan bahwa ada 7 karakteristik dari pendidikan multikultural, yakni antiracist education (pendidikan yang tidak membenci ras orang lain), basic education (pendidikan dasar), important for all students (penting bagi semua sisawa), pervasive (luas), education for sosial justice (pendidikan untuk keadilan sosial), education as process (pendidikan adalah suatu proses), dan critical pedagogy (pendidikan kritis).
Pembahasan tentang kurikulum pendidikan multikultural difokuskan pada empat hal, yaitu kompetensi, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi. Empat hal tersebut termasuk komponen inti dari kurikulum yang diterapkan oleh pendidikan multikultural. Berkaitan dengan kurikulum, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibebaskan menyusun dan melaksanakan kurikulum sendiri. Menurut Lukens-Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu kurikulum berbentuk pendidikan agama islam, kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral, kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum, dan kurikulum berbentuk keterampilan dan kursus.
Dalam konteks pondok pesantren pendidikan multikultural sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikultural ini diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya pendidikan multikultural. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satu contohnya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri.
Adanya pembelajaran pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum pesantren merupakan salah satu contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya formal. Sedangkan sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan satu disiplin pondok merupakan salah satu contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya non-formal.
Salah satu implikasi pendidikan multikultural di pesantren tercermin dari muatan atau isi kurikulum yang mengajarkan beragam keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus seperti (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan ditemui para santri pada saat hidup bermasyarakat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Anin Nurhayati. Inovasi Kurikulum: Telaah terhadap Perkembangan Kuriulum Pendidikan Pesantren. 2010. Yogyakarta: Teras
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka
H.A.R Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. 2004. Jakarta: Rineka Cipta
Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. 1991. Bandung: Mizan
Qomar Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratis Institusi. Jakarta: Erlangga
(Musa Asy’arie. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa)http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546 diakses pada hari Senin, 14 Maret 2016 pukul 12.30 WIB
http://m.kompasiana.com/minten_ayu_larassati/karakteristik-pendidikan-multikultural_55290346f17e611b2c8b45be diakses pada hari Senin, 14 Maret 2016 pukul 12.35 WIB
https://vivixtopz.wordpress.com/artikel-islam/pesantren-modern-dan-pendidikan-multikulturalisme/ (diakses tanggal 4 maret 2016 jam 09.50 WIB)
0 komentar:
Posting Komentar